Stefy Rengkuan; Me-runtuh-kan benteng ateisme modern

Meruntuhkan  Benteng Ateisme Modern
Sebuah Apologetika Kristiani, karya Benni E. Matindas, Penerbit Andi, Yogyakarta.

ResensatorStefy Rengkuan

Diskusi buku (Minggu 26/07) diselenggarakan Forum Spritualitas ESOTERIKA mengupas dan mengkritik pemikiran ateisme Charles Dawkins patut dihargai di tengah ketidaktahuan dan ketidaksadaran masyarakat akan bahaya ateisme yang secara halus disuburkan sejak semangat zaman yang mengagungkan kebebasan berpikir termasuk pikiran liar sampai tertib yang menolak Tuhan seolah dianggap pencapaian intelektual tertinggi. 

Sementara malah tak kurang filsuf teolog besar seperti Aquinas mengaku bahwa puncak tertinggi pengetahuan adalah kesadaran akan keterbatasan, mengetahui bahwa tidak tahu segala sesuatu. 


Namun bukan berarti kita tidak perlu mengetahui pemikiran filsafat ateistik itu, malah sebenarnya segala sesuatu tentangnya sudah ditimbang dan diukur, dan terbukti kurang bahkan tidak ada apa-apanya.

Materi bahasan ateisme sendiri bukan hal baru, dan buku Dawkins ini sudah lebih sepuluh tahun lalu dan para filsuf penganjur ateisme sudah ada jauh sebelum Dawkins. Entah terkait atau tidak, pada tahun-tahun itu seorang peneliti budaya, Benni Erick Matindas, sudah menerbitkan buku yang berusaha menelanjangi bahkan mematikan konsep pemikiran para filsuf ateis. 

Bahkan ide-ide tulisan itu tampaknya sudah ada dalam proses pembuatan buku best seller-nya, NEGARA SEBENARNYA (2007), yang mencapai 1000 halaman lebih untuk memperlihatkan dan meninggalkan sejumlah salah kaprah dalam kehidupan bernegara.

Teori seleksi alam Darwin dan teori-teori sains pendukung yang dibanggakan Dawkins itu malah cukup dibantah secara singkat di dalam kata pengantar secara singkat saja. Bukan menjadi teori yang perlu dibahas penulis dalam isi buku, karena sudah jelas dibuktikan pelbagai penelitian fisika mutakhir bahwa evolusi alam itu bukan tidak memerlukan Ide awal yang mengarahkan. 

Juga begitu banyak bukti dalam proses alam raya dan kehidupan manusia sehari-hari bahwa Tuhan diperlukan. Teori yang diklaim lebih unggul dari "hipotesis Tuhan" sebenarnya itu tidak meruntuhkan ajaran utama Alkitab tentang keberadaan Tuhan dan HUKUM KASIH, demikian juga tak sampai mengusik wilayah iman Kristiani yang bahkan percaya, kalau Tuhan menghendaki, dunia ini bisa diciptakan dalam sekejap atau 6 jam saja, bukan 6 hari seperti ada tertulis dalam kitab Genesis yang dibantah orang ateis itu. Klaim kebanggaan dan kesadaran menjadi ateis justru menjadi tanda kebodohan dan ketidakbebasan bahkan kesia-siaan belaka.

Dr. Benni memberi judul bukunya setebal 240 halaman itu MERUNTUHKAN BENTENG FILSAFAT ATEISME MODERN (2010), dan pertanyaan bisa langsung dinyatakan apa yang menjadi benteng ateisme di zaman modern ini?Salah satu jawaban sebenarnya sudah tersirat dalam dua alasan yang dikemukakan penulis dalam kata pengantar buku juga saat memberi analisis fenomena banyaknya pemimpin umat itu tak pernah atau jarang berkotbah tentang bahaya pemikiran ateisme itu bagi umat dan dirinya sendiri. Pertama, karena filsafat ateisme itu langsung dianggap oleh pemimpin sebagai konsep yang sulit dan berbelit-belit. 

Kedua, karena sulitnya filsafat ateisme itu bagi pemimpin maka diandaikan bahwa umat pun tak akan terpengaruh oleh pemikiran yang abstrak nun jauh di awang-awang itu. 

Penafsiran ini berangkat dari prinsip dalam strategi pemenangan perang di Tiongkok kuno: pertahanan terbaik adalah dengan menyerang! Bandingkan kata 'kelung' sebagai nama perisai yang biasa dipakai dalam tari Kabasaran di Minahasa, ternyata aslinya adalah sebuah parang besar yang dipakai untuk menyerang dalam kisah perang Sam Kok. 

Maka dua jawaban itu dalam arti tertentu merupakan skor kekuatan benteng ateisme itu. Jadi bukan semata fakta para pentolan dan penganjur ateisme itu gencar dan kuat menyerang kaum teistik, tapi terutama dari pihak beragama khususnya Kristen rupanya tiada serangan berarti yang dilancarkan, malah jangan-jangan tiada keberanian menyerang. Ini bisa pernyataan atau pertanyaan.

Memakai prinsip dan analogi itu, maka kekuatan kaum beragama itu didapatkan dengan pertama mempelajari dan memahami apa filsafat ateisme. Itu menjadi bekal dan persiapan yang cukup untuk bisa menjadi vaksin dari luar yang memberi imunitas yang mesti ditemukan dan disuntikkan dalam pemahaman rasional menghadapi bahaya pandemi ateisme itu. Dan tentu saja bagaimana kekebalan itu bisa diteruskan kepada kaum keluarga dan komunitas yang membutuhkannya supaya ikut memiliki kekebalan dan kesehatan yang sama. 

Kecemasan mental tak berguna tentang filsafat ateisme ini bisa diatasi juga secara sederhana dari fakta kebahasaan. Bahwa kata 'teis' (Tuhan) itu sendiri menjadi kata utama, dan kata 'ateis' (a = tidak) diturunkan alias dimunculkan kemudian. 

Pernyataan tidak ada Tuhan hanya bisa dipahami karena kata Tuhan itu sendiri. Ini juga didukung oleh neuro sience mutahir bahwa otak manusia dirancang hanya memikirkan apa yang ada positif, artinya otak manusia tidak dapat mengenal kata "tidak" itu. Pada saat kita mengatakan tidak ada Tuhan, justru Tuhan itu yang muncul dalam gambaran dan kesadaran.

Namun demikian kita tidak bisa langsung bisa meruntuhkan tembok dan benteng ateisme hanya dengan permainan kata walau secara konstitutif tidak ada secara natural dalam struktur otak manusia. Walau pernyataan "tidak berTuhan" itu hanyalah ilusi bahkan delusi manusia selevel Charles Dawkins itu, namun bukan berarti orang beriman dan berasio tak perlu berdialog kritis dengan pemikiran tersebut. 

Apalagi fakta fenomena semakin menguat dan membesarnya pengaruh ateisme di dunia bukan karena gelombang pasang pengungsian orang karena keruntuhan negara-negara berideologi komunis, tapi justru dalam kehidupan normal keseharian yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi yang sedang menentukan peradaban moderen secara cepat dan dasyat, dan cukup banyak pentolan dan pelopornya mempunyai beberapa pemikiran yang  dirancang bangun sedemikian rupa sampai menganjurkan ateisme itu, dari yang lunak sampai paling keras. 

Padahal beberapa di antara mereka awalnya terlahir beragama dalam keluarga religius, bahkan bercita-cita menjadi pendeta atau pengkotbah yang serius. 

Nampaknya Dawkins lepas dari motifnya apa termasuk yang keras karena menyebut sebuah kengerian bila status beragama dikenakan pada diri seorang anak Kristen atau Islam misalnya. Mungkin dia mengalami semacam kenangan traumatik atau pemahaman keliru tentang ajaran inti agama-agama? Nah lho. 

Ya memang masalahnya bukan sesederhana seperti yang kelihatan dalam keseharian itu yang dalam kadar tertentu umat menikmati dan menghidupkan bahkan membanggakan para tokoh dan nabi ateisme itu, bahkan tanpa tahu ajaran mana yang membahayakan pengetahuan dan iman ketuhanan mereka.

Matindas mengingatkan bahwa semuanya bisa berawal dari dan berakhir pada sistem berpikir dan konsep yang langsung tak langsung masuk dalam kesadaran pikiran dan praktik bertindak umat manusia termasuk kaum beragama, mulai dari hal-hal kecil yang nampak sepele dan bahkan tak kelihatan atau tak disadari. Dan ateisme filosofis itu justru yang paling berbahaya daripada yang diduga orang ateisme praktis. 

Ibarat orang tanpa gejala (OTG) di zaman pandemi covid-19 ini yang menurut laporan mencapai 80% dari yang diperiksa. Mereka bisa menjadi super spreader yang berpotensi menjadi biang kerok penularan, meningkatkan grafik yang positif dan seterusnya memperbesar pasien meninggal dengan tiba-tiba karena terlambat dicegah.

Pada titik ini penting mendesaknya sebuah proses discernment, yakni pembedaan dan pemilahan serta penegasan secara rasional konsep-konsep filsafat ateisme tersebut, mana yang inti yang mesti dihancurkan, bila harus diserang. Dan Matindas menunjukkan senjata pemungkas itu seperti jubi-jubi atau tombak bermata dua yang relatif panjang dan pendek. 

Pertama dengan berusaha menguraikan posisi tokoh serta konteks setiap filsafat, pengetahuan, dan kebudayaan umat manusia dan kemungkinan pengaruh teori ateisme itu sendiri bagi jemaat, dan uraian singkat siapa filsuf itu sampai menjadi ateis dalam proses kreatif berteori bahkan dalam perilakunya kesehariannya, kemudian walau secara sangat ringkas namun padat dan fokus pada uraian teori utama sistem dan implikasi ateistik yang dibangun, dan walau tidak semua filsuf ateis disebut namun keterwakilan dan keterkaitannya dengan para filsuf lain cukup ditunjukkan. 

Dan pemilihan 12 judul artikel nampaknya bukan semata menunjuk pada tokoh utama, tapi juga rupanya dimaksudkan untuk mengingatkan sasaran pembaca Kristen sebagai bagian dari yang berkepentingan dengan ajaran teistik yang mau tak mau mesti memusuhi dan mematikan ateisme itu. Karena itulah sub judul buku adalah "APOLOGETIKA IMAN KRISTIANI terhadap Fisafat Ateisme Modern".

Kedua, masih sejalan dengan makna apologetika sebagai bagian dari proses pertanggungjawaban iman personal (komunal), yakni dengan menunjukkan kebenaran utama dari ajaran Kristiani sendiri, yakni hukum kasih yang menjadi utama sebagaimana diajarkan dan diteladankan Yesus sendiri sebagai kegenapan dan kesempurnaan itu. "Jika ada cinta kasih hadirlah Tuhan". Dan sesungguhnya tak banyak jurus kutipan ayat yang dipakai penulis sebagaimana lazimnya pengkotbah merasa wajib menyebut ayat untuk sekedar memastikan bahwa dia (dinilai) hanya menyatakan kebenaran firman Tuhan, bukan sedang memakai pikiran, ego, bahkan suara hati sendiri. Benni bahkan tak berusaha berteologi, tapi memang lebih banyak memberi penjelasan dan menunjukkan aspek dan sisi kekeliruan ateisme filsuf masing-masing, termasuk kekeliruan teori filsafat utama sejauh dianggap perlu. 

Ya, sebagai seorang pemikir dan filsuf jelas Benni memang menggunakan rasionalitasnya, konkritnya penelitian kepustakaan yang luas dan pengalaman intelektual, spritual, dan sosial umumnya tentu saja, yang bisa diasumsikan didasarkan pada kepekaan iman kristiani yang sudah diwarisinya sejak dalam kandungan yang penuh misteri itu, bagaikan rancang kreasi agung sang arsitek kehidupan. Kecenderungan berpikir teistis itu mestinya sudah ada dalam diri setiap insan manusia. Maka juga nampak Benni sangat percaya diri dan menunjukkan wibawa yang otoritatif yang tak kurang seperti dimiliki seorang pengkotbah yang mesti selalu mengutip ayat dari Alkitab yang bahkan sampai dihafal di luar kepala.

Benni mengelompokkan ateisme itu dalam beberapa sifat yang menjadi penekanan atau yang tampak secara tekstual dan tentu saja dengan segala kecenderungan lemah dan kuatnya dalam jagad lintasan pemikiran dan arena pertarungan pemikiran filsafati berhadapan dengan paham yang teistik. 

Pertama, Tuhan jangan ada, yang paling jelas dalam teori etika Nietzche, yang dianggap ateisme yg paling lemah. Kedua, bahwa Tuhan tidak dapat diketahui oleh "pengetahuan yang benar", suatu sifat ateisme yang dibangun atas dasar epistemologi seperti nampak dalam filsafat ateisnya Hume, Kant, Comte, Wittgenstein, juga dalam Pragmatism dll. 

Ini pada dasarnya sama dengan yang pertama, pokoke Tuhan mesti ditolak dan tak boleh ada. Ketiga, Tuhan tidak ada di mananapun karena "Tuhan" yang ada ternyata bukan Tuhan yang diajarkan agama-agama. Ateisme Feuerbach, Freud, Durkheim, Taylor-Frazer, juga Marx dengan teori alienasinya tergolong dalam sifat ini. Keempat, tak mungkin ada Tuhan, seperti yang diteorikan oleh Sartre bahwa Tuhan adalah suatu ketidakmungkinan, dan ini memberi kesan ateisme yang paling kuat.

Keberagaman sifat dasar dari filsafat ateisme ini justru saling berbeda dan saling menihilkan sehingga sebenarnya makin jelas kerapuhannya sebagai sebuah sistem filsafat. Dan Matindas menyimpulkan lanjut bahwa sebenarnya mereka memang memilih bersikap ateistis bukan karena didasarkan pada filsafat atau teori mereka yang berimplikasi ateisme, tapi sebaliknya mereka tergiring membangun filsafat yang ateistik karena pada dasarnya mereka sudah ateis, berangkat dari kehendak bebas dan sikap dasar yang sama: menolak Tuhan.

Berbeda dengan keragaman sifat dasar dari setiap aliran dan denominasi gereja dalam Kristianitas misalnya, yang masing-masing atas caranya sendiri mempunyai kecenderungan eklesiologi tertentu, tapi masih menunjuk pada hakikat Gereja itu sendiri dengan penekanan tertentu. Dan karena itu alasan mengapa tidak bisa dibenarkan lagi orang saling menuduh sesat sampai kutuk mengutuk antar denominasi itu seperti yang dulu bahkan masih sering terjadi belum lama ini tokoh besar dari dua tiga bagkan lebih saling menyerang yang dipicu oleh pendapat dan sikap menghadapi anjuran physical distancing dalam beribadah. 

Semuanya mengaku dan percaya pada Yesus yang satu dan sama adalah Tuhan Allah yang memasuki dunia dalam segala kemanusiaanya kecuali dalam hal dosa. Perbedaan jumlah kitab dan tafsiran dalam  beberapa bagian yang membuat beberapa doktrin berbeda biasanya disikapi dengan hormat pada keyakinan personal dan lembaga gerejani masing-masing yang diyakini sebagai institusi Ilahi yang suci sekaligus sosial manusiawi yang tak luput dari dosa. 

Juga dalam tataran agama tradisi Abrahamik khususnya, ada banyak kesamaan yang membuat kita bersatu di bawah paham monoteisme, dan perbedaan kitab serta tafsiran pada akhirnya dikembalikan ke wilayah iman keyakinan yang mesti diakui dan dihargai dan punya sejarah serta penjelasan rasionalnya yang khas.

Namun terhadap ateisme sebagai sebuah paham berpikir dan bertindak, yang baru muncul dan dimunculkan justeru berpretensi mengoreksi dan bahkan meninggalkan kepercayaan dan filsafat ketuhanan, nampaknya penyelesaian perbedaan itu secara iman keyakinan jelas mengandung problematik karena keduanya memang saling meniadakan, "teisme vs ateisme". Tidak bisa seorang yang berkotbah tentang teisme lalu tak memusuhi lagi ateisme. 

Orang ateis mungkin saja masih menerima Tuhan dalam bentuk dan cara lain dari kaum bergama misalnya, atau menjadi agnostik alias tidak tahu atau belum tahu pasti ada tidaknya Tuhan.

Sampai di sini saya terinspirasi kemudian dengan kuliah online dalam KALA KALAM yang diadakan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta tadi sore (27/7) yang menampilkan dua dosen, ahli Alkitab dan ahli Islamologi, dalam dua sesi tema masing-masing yang sangat peka karena memang membuat umat beriman awam maupun profesional bingung dan bertanya bahkan ribut dan teprovokasi khususnya di media sosial. Menurut saya dua nara sumber itu sangat paham dengan tema dan perspektif serta tujuan yang dirancang mereka, termasuk menjawab oertanyaan-pertanyaan peserta, cerdas dan bijak! 

Ya, bagaimana pun juga pada hakikatnya sebuah apologetika, -- walau sering dipicu oleh konteks problem dan kecemasan dari luar seperti terlacak dalam beberapa peristiwa dan tokoh pada zamannya bahkan sekarang masih terjadi pengulangan yang sama, -- apalagi apologetika kristiani, bukan pertama berangkat pertama dari ketakutan dan kecemasan tentang yang lain atau di luar itu, melainkan mesti terutama berangkat dari semangat memahami internal secara benar dan tepat apa yang diimani dan diritualkan dan dihidupi dalam keseharian nyata. Dengan demikian diharapkan agama Kristen dan semua agama lainnya tetap relevan dan menjawab kebutuhan alamiah manusia untuk menjalani kehidupannya lebih baik. 

Penting disadari karena itu sebuah apologetika sebagai sebuah usaha pikiran manusiawi mau tak mau mesti tetap terbuka pada dialog bahkan kritik, misalnya sejauh mana memahami tuntas paham agamanya sendiri sehingga bisa menyebut ajaran agama lain termasuk ateisme itu keliru dan salah? 

Sebagaimana tuduhan dan serangan Dawkins dan para ateis lainnya membuat kaum beragama merasa tidak dipahami dengan benar dan tepat, demikian sebaliknya juga adalah sebuah kemungkinan bahkan ada point-point kritik para ateis itu secara faktual ada terutama terkait kekerasan atas nama agama bahkan demi Tuhan sendiri menunjukkan problem berTuhan dalam cara memahami dan menghidupi agama masih sering menghantui dunia, karena kaum beragama belum selesai atau telah keliru menafsirkan teks-teks kekerasan dalam Kitab Suci.

Yang pasti buku ini membuat anda yang cemas karena kesulitan belaka memahami ateisme akan mendapatkan keberanian yang mantap sekaligus untuk menjadi lebih paham dengan posisi inti dan utama beriman secara rasional dan  bertanggungjawab. 

Bila pembaca ingin menambah pengetahuan lebih benar dan meyakinkan tentang Tuhan dari sisi kritik atas filsafat ateistik, membaca buku ini sangat dianjurkan karena bermanfaat. 

Mengerti semua kekeliruan ateisme hanya akan membuat kita makin mensyukuri nikmat karunia rasio dan iman yang bagaikan double helix dari DNA yang satu dan sama dari setiap manusia ciptaan. 

Memaknai filosofi hari raya Kurban (Nabi Ibrahim/Abraham), membeli dan menyembelih hewan kurban sama dengan mematikan nafsu hewani (termasuk segala kecenderungan dan tindak kekerasan kotornya) yang sering membuat manusia luhur itu tidak menggunakan lagi akal budi dan akal imannya yang sehat dan aman. Bahkan kadang tiba saat akal itu kurang, rahmat Kasih itu mencukupi untuk manusia tetap mencintai Tuhan dan sesama serta lingkungan sekitarnya.#StefiRengkuan

Seputar Adven dan Natal


Mengerti apa yang terjadi di seputar Natal

Setiap tahun umat Kristiani merayakan Natal. Bagi umat Katolik, perayaan Natal didahului dengan persiapan masa Natal, yaitu Masa Adven yang merupakan masa persiapan kedatangan Kristus. Bagi banyak orang, Natal dan Adven identik dengan pohon natal, kandang natal, dan hadiah natal. Namun, lebih daripada itu, hal yang terpenting dilakukan adalah persiapan rohani untuk menyambut Kristus. Namun sayangnya, banyak orang kurang mengetahui alasan dan makna di balik semua persiapan rohani yang dilakukan. Artikel ini bertujuan untuk mengupas tradisi di seputar Natal dan persiapan yang dilakukan selama masa Adven, sehingga kita yang merayakan akan semakin menghargai apa yang biasa kita lakukan.

Seputar Natal

1. Kedatangan Yesus menjadi Anno Domini

Secara tidak sadar, sebenarnya dunia mengakui kedatangan Kristus sebagai satu hal yang begitu istimewa, karena perhitungan kalendar internasional menggunakan acuan kedatangan Kristus, yaitu yang dinamakan Anno Domini (AD), artinya tahun Tuhan, untuk menandai tahun-tahun sesudah kelahiran Kristus; dan BC, yaitu singkatan dari Before Christ untuk tahun- tahun sebelum kelahiran Kristus. Dengan demikian, kedatangan Kristus membagi sejarah manusia menjadi dua, dan titik pusatnya adalah Kristus sendiri. Ini adalah kenyataan yang terjadi berabad-abad dan patokan AD dan BC akan terus berlaku sampai akhir zaman.
Namun, kalau kita mengadakan perhitungan, sebenarnya kedatangan Kristus bukanlah permulaan tahun AD, namun sekitar 7BC – 5BC. Dionysius Exiguus (470-544) adalah seorang anggota Scythian monks, yang akhirnya tinggal di Roma sekitar tahun 500. Dionysius adalah orang yang pertama kali memperkenalkan AD (Anno Domini / the year of the Lord) pada waktu dia membuat kalendar Paskah (Easter). Sistem penanggalan ini menggantikan sistem penanggalan Diocletian, karena Dionysius tidak ingin menggunakan perhitungan Diocletian, seorang Kaisar yang menganiaya jemaat Kristen di abad ke-3. Dionysius mengatakan bahwa Anno Domini dimulai 754 tahun dari pondasi Roma (A.U.C) atau tahun 1 AD, yaitu tahun dimana Yesus lahir (dalam perhitungan Dionysius). Namun berdasarkan perhitungan para ahli, terutama berdasarkan bukti sejarah dari Josephus, maka perhitungan ini tidaklah benar.
Kitab Matius mengatakan “Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem” (Mt 2:1). Josephus, seorang ahli sejarah mengatakan bahwa Raja Herodes meninggal setelah berkuasa selama 34 tahun (de facto) dari meninggalnya Antigonus dan 37 tahun (de jure) sejak Roma mengeluarkan perintah yang menyatakan bahwa dia adalah raja (Josephus, Antiquities, 17,8,1). Antigonus meninggal pada saat Marcus Agrippa dan Lucius Caninius Gallus menjadi konsulat, yaitu pada tahun 37 BC. ((Josephus, Antiquities, 14,16, 4)). Herodes menjadi raja pada saat Caius Domitias Calvinus dan Caius Asinius Pollio menjadi konsulat pada tahun 40 BC. Perhitungannya adalah sebagai berikut: Dihitung dari meninggalnya Antigonus: 37 BC – 34 = 3 BC atau dihitung dari Raja Herodes menjadi raja: 40 BC – 37 = 3 BC.
Oleh karena itu, raja Herodes dipercaya meninggal sekitar 3 BC – 5 BC, atau kemungkinan sekitar 4 BC. Hal ini dikarenakan Josephus mengatakan bahwa pada saat tahun itu juga terjadi gerhana bulan (Josephus, Antiquities, 17,6, 4). Dan gerhana bulan ini terjadi pada tahun 4 BC. Karena Herodes meninggal tahun 4 BC, maka Kristus harus lahir sebelum tahun 4 BC. Dan diperkirakan Yesus lahir beberapa tahun sebelum kematian raja Herodes. Berdasarkan perhitungan tersebut di atas, para ahli percaya bahwa kelahiran Yesus adalah sekitar tahun 7 BC – 6 BC.

2. Mengapa merayakan Natal tanggal 25 Desember

Setiap tahun kita merayakan hari Natal, yaitu Hari Kelahiran Yesus Kristus. Namun mungkin banyak di antara kita yang mempunyai pertanyaan- pertanyaan sehubungan dengan perayaan Natal, setidak-tidaknya seperti tiga buah pertanyaan berikut ini. Pertama, tentang asal-usul perayaan Natal. Kedua, apa perlunya merayakan Natal, mengingat kata Natal tidak disebut dalam Kitab Suci. Ketiga, bolehkah merayakan Natal sebelum tanggal 25 Desember? ((Tiga pertanyaan dan jawaban dari pertanyaan ini dimuat di tabloid Catholic Life edisi Desember 2011))
Memang ada beberapa teori tentang asal mula hari Natal dan Tahun Baru. Menurut Catholic Encyclopedia, pesta Natal pertama kali disebut dalam “Depositio Martyrum” dalam Roman Chronograph 354 (edisi Valentini-Zucchetti (Vatican City, 1942) 2:17). ((New Catholic Encyclopedia, Vol III, The Catholic University of America, (Washington: 1967, reprint 1981), p.656)) Dan karena Depositio Martyrum ditulis sekitar tahun 336, maka disimpulkan bahwa perayaan Natal dimulai sekitar pertengahan abad ke-4.
Kita juga tidak tahu secara persis tanggal kelahiran Kristus, namun para ahli memperkirakan sekitar 8-6 BC (Sebelum Masehi). St. Yohanes Krisostomus berargumentasi bahwa Natal memang jatuh pada tanggal 25 Desember, dengan perhitungan kelahiran Yohanes Pembaptis. Karena Zakaria adalah imam agung dan hari silih (Atonement) jatuh pada tanggal 24 September, maka Yohanes Pembaptis lahir tanggal 24 Juni dan Kristus lahir enam bulan setelahnya, yaitu tanggal 25 Desember. ((Ibid.))
Ada juga sejumlah orang yang meyakini bahwa kelahiran Kristus jatuh pada tanggal 25 Desember, berdasarkan tanggal winter solstice (25 Desember dalam kalendar Julian), karena pada tanggal tersebut, matahari mulai kembali ke utara. Ada juga yang kemudian menghubungkan tanggal tersebut dengan kebiasaan kaum kafir /pagan berpesta “dies natalis Solis Invicti” (perayaan dewa Matahari); dan penetapan Kaisar Aurelian  di tahun 274, bahwa dewa matahari adalah pelindung kerajaan Roma, yang dirayakan setiap tanggal 25 Desember. ((Ibid.)) Hal serupa juga berlaku untuk tahun baru, yang dikatakan berasal dari kebiasaan suku Babilonia. Namun sejujurnya, semua itu merupakan spekulasi.

Penjelasan lengkap tentang hal ini dapat dibaca di sini – silakan klik.
Namun, bukankah Natal tidak pernah disebutkan dalam Kitab Suci? Mengapa kita tetap merayakan Natal? Kita tahu, bahwa tidak semua hal disebutkan di dalam Kitab Suci (lih. Yoh 21:25), termasuk kata Inkarnasi, Trinitas, Natal. Jangan lupa juga bahwa Kitab Suci pun tidak pernah menuliskan larangan untuk merayakan Natal. Satu hal yang pasti adalah kelahiran Yesus disebutkan di dalam Kitab Suci. Merayakan misteri Inkarnasi, merayakan Tuhan datang ke dunia dalam rupa manusia, merayakan bukti cinta kasih Allah kepada manusia adalah esensi dari perayaan Natal. Dengan demikian, perayaan Natal adalah hal yang sangat baik, karena seluruh umat Allah memperingati belas kasih Allah. Kalau memperingati ulang tahun anak kita adalah sesuatu yang baik – karena mengingatkan akan kasih Allah yang memberikan anak di dalam keluarga kita, maka seharusnya memperingati ulang tahun Sang Penyelamat kita adalah hal yang amat sangat baik, bahkan sudah seharusnya dilakukan.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah boleh merayakan Natal sebelum tanggal 25 Desember atau sesudah lewat masa Natal? Sebenarnya, dari pemahaman makna Adven, kita, umat Katolik,  tidak dianjurkan untuk merayakan Natal sebelum hari Natal. Sebab justru karena kita menghargai hari Natal sebagai hari yang sangat istimewa, maka kita perlu mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Persiapan ini kita lakukan dengan masa pertobatan selama 4 minggu, yaitu mengosongkan diri kita dari segala dosa yang menghalangi kita menyambut Sang Juru Selamat; agar pada hari kelahiran-Nya, kita dapat mengalami lahir-Nya Kristus secara baru di dalam hati kita. Dengan demikian, kalau kita ingin merayakan Natal bersama keluarga, mari kita rayakan setelah Malam Natal, setelah hari Natal, selama dalam 8 hari (Oktaf Natal). Gereja Katolik memang merayakan Natal sejak Malam Natal sampai hari Epifani (Minggu Pertama setelah Oktaf Natal) dan bahkan gereja-gereja memasang dekorasi Natal sampai perayaan Pembaptisan Yesus oleh Yohanes Pembaptis (hari Minggu setelah tanggal 6 Januari).

3. Mengapa pohon cemara?

Sejarah pohon natal dapat ditelusuri sampai di sekitar abad ke-8, saat St. Bonifasius (675-754), seorang uskup Inggris, menyebarkan iman Katolik di Jerman. Pada saat dia meninggalkan Jerman dan pergi ke Roma sekitar 15 tahun lamanya, jemaat yang dia tinggalkan kembali lagi kepada kebiasaan mereka untuk mempersembahkan kurban berhala di bawah pohon Oak. Namun dengan berani St. Bonifasius menentang hal ini dan kemudian menebang pohon Oak tersebut. Jemaat kemudian bertanya bagaimana caranya mereka dapat merayakan Natal. Maka St. Bonifasius kemudian menunjuk kepada pohon fir atau pine, yang melambangkan damai dan kekekalan karena senantiasa hijau sepanjang tahun. Juga karena bentuknya meruncing ke atas, maka itu mengingatkan akan surga. Bentuk pohon yang berupa segitiga dan menjulang ke atas serta hijau sepanjang tahun, inilah mengingatkan kita akan misteri Trinitas, Allah yang kekal untuk selama-lamanya, yang turun ke dunia dalam diri Kristus untuk menyelamatkan manusia.
Maka walaupun memang tradisi pohon cemara tidak diperoleh dari jaman dan tempat asal Yesus, penggunaan pohon cemara tidak bertentangan dengan pengajaran Kitab Suci. Dalam hal ini, yang dipentingkan adalah maknanya: yaitu untuk mengingatkan umat Kristiani agar mengingat misteri kasih Allah Trinitas yang kekal selamanya, yang dinyatakan dengan kelahiran Yesus Sang Putera ke dunia demi menebus dosa manusia.

Tradisi Masa Adven

Begitu pentingnya peristiwa kelahiran Yesus Sang Putera, sehingga Gereja mempersiapkan umatnya untuk memperingatinya; dan masa persiapan ini dikenal dengan masa Adven. Kata “adven” sendiri berasal dari kata “adventus” dari bahasa Latin, yang artinya “kedatangan”. Masa Adven yang kita kenal saat ini sebenarnya telah melalui perkembangan yang cukup panjang. Pada tahun 590, sinode di Macon, Gaul, menetapkan masa pertobatan dan persiapan kedatangan Kristus. Kita juga menemukan bukti dari homili Minggu ke-2 masa Adven dari St. Gregorius Agung (Masa kepausan 590-604). Dari Gelasian Sacramentary, kita dapat melihat adanya 5 minggu masa Adven, yang kemudian diubah menjadi 4 minggu oleh Paus Gregorius VII (1073-1085). Sampai sekarang, masa Adven ini dimulai dari hari Minggu terdekat dengan tanggal 30 November (hari raya St. Andreas) selama 4 minggu ke depan sampai kepada hari Natal pada tanggal 25 Desember.
Masa Adven ini berkaitan dengan permenungan akan kedatangan Kristus. Kristus memang telah datang ke dunia, Ia akan datang kembali di akhir zaman; namun Ia tidak pernah meninggalkan Gereja-Nya dan selalu hadir di tengah- tengah umat-Nya. Maka dikatakan bahwa peringatan Adven merupakan perayaan akan tiga hal: peringatan akan kedatangan Kristus yang pertama di dunia, kehadiran-Nya di tengah Gereja, dan penantian akan kedatangan-Nya kembali di akhir zaman. Maka kata “Adven” harus dimaknai dengan arti yang penuh, yaitu: dulu, sekarang dan di waktu yang akan datang.
Ini adalah dasar dari pengertian tiga macam kedatangan Kristus yang dipahami Gereja Katolik. Pemahaman ini menjiwai persiapan rohani umat; dan hal ini tercermin dalam perayaan liturgi dalam Gereja Katolik. Sebab di antara kedatangan-Nya yang pertama di Betlehem dan kedatangan-Nya yang kedua di akhir zaman, Kristus tetap datang dan hadir di tengah umat-Nya. Hanya saja, masa Adven menjadi istimewa karena secara khusus Gereja mempersiapkan diri untuk memperingati peristiwa besar penjelmaan Tuhan, menjelang peringatan hari kelahiran-Nya di dunia.
Katekismus Gereja Katolik (KGK, 524) menuliskan:
KGK, 524 Dalam perayaan liturgi Adven, Gereja menghidupkan lagi penantian akan Mesias; dengan demikian umat beriman mengambil bagian dalam persiapan yang lama menjelang kedatangan pertama Penebus dan membaharui di dalamnya kerinduan akan kedatangan-Nya yang kedua (Bdk. Why 22:17.). Dengan merayakan kelahiran dan mati syahid sang perintis, Gereja menyatukan diri dengan kerinduannya: “Ia harus makin besar dan aku harus makin kecil” (Yoh 3:30).
Pada masa Adven, umat Katolik sering melakukan ulah kesalehan yang baik, yang berakar selama berabad-abad. Ulah kesalehan ini bertujuan untuk membantu mempersiapkan umat dalam menyambut kedatangan Sang Mesias. ((Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen, Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi, Asas-asas dan pedoman, 97)) Semua ulah kesalehan ini mengingatkan umat akan Sang Mesias yang sebelumnya telah dinubuatkan melalui perantaraan para nabi dalam Perjanjian Lama. Ulah kesalehan ini juga mengingatkan umat Allah akan Kristus yang lahir dari Perawan Maria dengan begitu banyak kesulitan, yang akhirnya terlahir, namun terlahir di kandang, di tempat yang kurang layak. Mari sekarang kita membahas persiapan rohani yang terkait dengan masa Adven.

1. Persiapan spiritual

Karena masa Adven adalah masa penantian yang harus diisi dengan pertobatan, sehingga kita mempersiapkan diri kita untuk menyambut kedatangan Kristus, maka sudah seharusnya umat Allah mempersiapkan diri secara spiritual. Persiapan yang terbaik adalah dengan lebih sering menerima Sakramen Ekaristi dan juga menerima Sakramen Tobat. Sakramen Ekaristi menyadarkan kita akan kasih Allah yang memberikan Putera-Nya untuk bersatu dengan kita, yang dimulai dengan peristiwa Inkarnasi. Sakramen Tobat menyadarkan kita bahwa kita sebenarnya tidak layak menyambut Kristus karena dosa-dosa kita, namun Kristus datang ke dunia untuk menyelamatkan kita dari belenggu dosa. Masa Adven adalah waktu yang tepat untuk terus bertekun dalam doa-doa pribadi dan membaca Kitab Suci. Sungguh baik kalau kita dapat mengikuti bacaan Kitab Suci mengikuti kalender Gereja, karena bacaan-bacaan telah disusun sedemikian rupa untuk mempersiapkan kita menyambut Sang Mesias.
Dalam masa Adven ini, ada sebagian umat yang juga menjalankan Novena Maria dikandung Tanpa Noda, Novena Natal dan Novena Kanak- kanak Yesus. Karena Gereja memperingati Maria dikandung Tanpa Noda (Immaculate Conception) pada tanggal 9 Desember, maka penghormatan kepada Bunda Maria, yang melahirkan Kristus juga dipandang sebagai devosi yang baik. Jika devosi ini dilaksanakan, maka sebaiknya menonjolkan teks-teks profetis, mulai dari Kej 3:15 dan berakhir pada kabar gembira dari malaikat Gabriel kepada Maria, yang penuh rahmat. ((Ibid., 102))

2. Lingkaran Adven

Lingkaran Adven (Adven wreath) adalah satu lingkaran yang biasanya terbuat dari daun-daun segar, dengan empat lilin. Pada awal mulanya, sebelum kekristenan berkembang di Jerman, orang- orang telah menggunakan lingkaran daun, yang atasnya dipasang lilin untuk memberikan pengharapan bahwa musim dingin yang gelap akan lewat. Di abad pertengahan, umat Kristen mengadaptasi kebiasaan ini dan memberikan makna yang baru pada lingkaran daun ini menjadi lingkaran Adven, untuk menantikan kedatangan Mesias, Sang Terang. Dikatakan bahwa penyalaan lilin yang bertambah minggu demi minggu sampai hari Natal merupakan permenungan akan tahapan karya keselamatan Allah sebelum kedatangan Kristus, yang adalah Sang Terang Dunia, yang akan menghapuskan kegelapan. (Ibid, 98))
Di dalam dokumen Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi, tidak disebutkan warna lilin yang digunakan, sehingga umat dapat menggunakan lilin warna putih ataupun ungu. Karena masa Adven juga menjadi masa pertobatan, maka lilin dapat menggunakan warna ungu, yang menjadi simbol pertobatan. Kemudian di Minggu ke-3, atau disebut minggu Gaudete atau minggu sukacita, dipasang lilin berwarna merah muda, yang menyatakan sukacita karena masa penantiaan akan telah berjalan setengah dan akan berakhir. Ada juga kebiasaan, yang meletakkan lilin putih di tengah, yang dinyalakan saat masa Adven selesai, yang menyatakan bahwa Kristus telah datang.

3. Antifon Tujuh ‘O’

Gereja Katolik mengharuskan para imam untuk berdoa liturgi harian (Liturgy of the hour atau Brevier). Walaupun doa ini diperuntukkan untuk para imam, namun kaum awam juga dianjurkan untuk mendoakannya. Dengan demikian, alangkah baik, kalau pada tanggal 17-23, juga diadakan ibadah sore bersama-sama di Gereja. Doa ini begitu indah dan dalam, sehingga seseorang dapat berdoa bersama dengan Gereja, doa berdasarkan Sabda Tuhan, dan doa bersama dengan para santa-santo yang dirayakan dalam liturgi Gereja. Dalam masa Adven, tujuh hari sebelum Natal, yaitu tanggal 17-23 Desember, didoakan antifon sebagai berikut: O Sapientia (O Kebijaksanaan), O Adonai (O Tuhan), O Radix Jesse (O Pangkal Isai), O Clavis David (O Kunci Daud), O Oriens (O Bintang Fajar), O Rex Gentium (O Raja Segala Bangsa), O Emmanuel (O Imanuel / O Tuhan beserta kita). Kalau kita mengambil inisial dari doa tersebut mulai dari sebutan yang terakhir, maka akan membentuk kalimat  “ERO CRAS”, yang artinya Besok, Aku akan datang. Jadi, masa penantian dalam masa Adven senantiasa dibarengi dengan pengharapan akan kedatangan Sang Imanuel.
Antifon ini menggambarkan kerinduan akan kedatangan Sang Mesias. Dia yang merupakan Sabda Allah (O, Kebijaksanaan), yang akan mengajarkan manusia jalan Allah dengan cara Sang Sabda yang adalah Allah menjadi manusia (lih. Yoh 1:1). Bagaimana pemenuhan dari janji ini? Hal ini dipenuhi secara bertahap, dengan menggambarkan beberapa karakter. Kalau sebelum-Nya Allah menyatakan hukum-hukumnya dalam dua loh batu, maka nanti Dia akan menyatakannya lewat sebuah Pribadi (O Adonai). Pribadi ini akan datang dari keturunan Daud (O Radix Jesse), yang menggambarkan Inkarnasi, di mana semua raja akan bertekuk lutut. Dia mempunyai kekuasaan tak terbatas, yang digambarkan sebagai kunci Daud (O Clavis David), di mana Dia akan mengangkat manusia dari keterpurukan. Dia akan memberikan terang (O Oriens) kepada bangsa-bangsa. Terang ini menyinari semua orang, baik bangsa Yahudi maupun non-Yahudi, dan Dia akan menjadi raja segala bangsa (O Rex Gentium). Dia akan datang kepada umat manusia dan akan menyertai (O Emmanuel) umat manusia. Itulah harapan dari umat manusia akan kedatangan Sang Penyelamat. Dan dari rangkaian tujuh O Antifon, maka seolah-olah Yesus menjawab kerinduan ini, dengan mengatakan ERO CRAS atau ‘Besok, Aku akan datang’. Mari kita melihat satu persatu dari antifon ini:

17 Desember (O Sapientia)

O Kebijaksanaan, yang mengalir dari Sabda yang Maha Tinggi, menggapai dari ujung ke ujung dengan penuh kuasa, dan dengan gembira memberikan segala sesuatu; datang dan ajarlah kami jalan kebijaksanaan.
“Roh TUHAN akan ada padanya, roh hikmat dan pengertian, roh nasihat dan keperkasaan, roh pengenalan dan takut akan TUHAN; ya, kesenangannya ialah takut akan TUHAN. Ia tidak akan menghakimi dengan sekilas pandang saja atau menjatuhkan keputusan menurut kata orang.” (Yes 11:2-3)
“Dan inipun datangnya dari TUHAN semesta alam; Ia ajaib dalam keputusan dan agung dalam kebijaksanaan.” (Yes 28:29)

18 Desember (O Adonai)

O Tuhan dan Penguasa dari bangsa Israel, yang telah menampakkan diri kepada Musa dari dalam semak terbakar, dan telah memberikan kepadanya hukum di Sinai: datang dan bebaskanlah kami dengan rengkuhan lengan-Mu.
“Tetapi ia akan menghakimi orang-orang lemah dengan keadilan, dan akan menjatuhkan keputusan terhadap orang-orang yang tertindas di negeri dengan kejujuran; ia akan menghajar bumi dengan perkataannya seperti dengan tongkat, dan dengan nafas mulutnya ia akan membunuh orang fasik. Ia tidak akan menyimpang dari kebenaran dan kesetiaan, seperti ikat pinggang tetap terikat pada pinggang.” (Yes 11:4-5)
“Sebab TUHAN ialah Hakim kita, TUHAN ialah yang memberi hukum bagi kita; TUHAN ialah Raja kita, Dia akan menyelamatkan kita.” (Yes 33:22)

19 Desember (O Radix Jesse)

O Pangkal Isai, yang berdiri sebagai tanda bagi orang-orang, yang di hadapan-Nya, seluruh raja tidak dapat membuka mulut mereka; yang kepada-Nya seluruh bangsa harus berdoa: datang dan bebaskanlah kami, janganlah menunda lagi.
“Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah.” (Yes 11:1)
“Maka pada waktu itu taruk dari pangkal Isai akan berdiri sebagai panji-panji bagi bangsa-bangsa; dia akan dicari oleh suku-suku bangsa dan tempat kediamannya akan menjadi mulia.” (Yes 11:10)

20 Desember (O Clavis David)

O Kunci Daud, dan tongkat dari bangsa Israel; Yang mana apabila Ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila Ia menutup, tidak ada yang dapat membuka: datang dan pimpinlah tawanan dari rumah penjara, dan dia yang duduk dalam kegelapan dan bayang-bayang maut.
“Aku akan menaruh kunci rumah Daud ke atas bahunya: apabila ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila ia menutup, tidak ada yang dapat membuka.” (Yes 22:22)
“Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud dan di dalam kerajaannya, karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selama-lamanya. Kecemburuan TUHAN semesta alam akan melakukan hal ini.” (Yes 9:7)
“untuk membuka mata yang buta, untuk mengeluarkan orang hukuman dari tempat tahanan dan mengeluarkan orang-orang yang duduk dalam gelap dari rumah penjara.” (Yes 42:7)

21 Desember (O Oriens)

O Fajar Timur, Cahaya kemegahan abadi, dan matahari keadilan: Datang dan terangilah mereka yang duduk dalam kegelapan, dan bayang-bayang maut.
“Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar.” (Yes 9:1)
“Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu. Sebab sesungguhnya, kegelapan menutupi bumi, dan kekelaman menutupi bangsa-bangsa; tetapi terang TUHAN terbit atasmu, dan kemuliaan-Nya menjadi nyata atasmu.” (Yes 60:1-2)
“Tetapi kamu yang takut akan nama-Ku, bagimu akan terbit surya kebenaran dengan kesembuhan pada sayapnya. Kamu akan keluar dan berjingkrak-jingkrak seperti anak lembu lepas kandang.” (Mal 4:2)

22 Desember (O Rex Gentium)

O Raja Segala Bangsa, dan yang dirindukan, Batu penjuru yang membuat bangsa Yahudi dan non-Yahudi menjadi satu: datang dan selamatkanlah manusia, yang telah Engkau ciptakan dari debu tanah.
“Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.” (Yes 9:6)
“Ia akan menjadi hakim antara bangsa-bangsa dan akan menjadi wasit bagi banyak suku bangsa; maka mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang.” (Yes 2:4)
“sebab itu beginilah firman Tuhan ALLAH: “Sesungguhnya, Aku meletakkan sebagai dasar di Sion sebuah batu, batu yang teruji, sebuah batu penjuru yang mahal, suatu dasar yang teguh: Siapa yang percaya, tidak akan gelisah!” (Yes 28:16)

23 Desember (O Emmanuel)

O Imanuel, Raja dan Pemberi hukum kami, harapan dari semua bangsa dan keselamatan mereka: datang dan selamatkanlah kami, O Tuhan Allah kami.
“Sebab itu Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya, seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.” (Yes 7:14)

Mempersiapkan Natal dengan sungguh dan menangkap arti Natal

Dari pemaparan di atas, maka sesungguhnya menjadi jelas, bahwa masa Adven adalah masa persiapan untuk menyambut kedatangan Kristus, yang harus diisi dengan pertobatan, yaitu membersihkan rumah hati kita, agar Kristus dapat lahir kembali di hati kita. Kalau kita mempersiapkan diri dengan baik, maka kita akan mengalami Kristus yang hadir di dalam hati kita, sehingga kita juga akan mempunyai tujuan yang sama dengan Inkarnasi Kristus, yaitu untuk mengasihi dengan memberikan diri kepada sesama kita. Dengan kata lain, Natal mengingatkan kita untuk dapat berbagi kasih dengan sesama. Mari, pada masa Adven ini, kita mempersiapkan diri kita dengan sebaik-baiknya. Datanglah ya Tuhan, lahirlah secara baru di dalam hatiku…..!
Sumber: www.katolisitas.org

Persiapan Pentahbisan Mgr. Benedictus Estefanus Rolly Untu, MSC




Foto Uskup Keuskupan Manado terpilih
MGR BENEDICTUS ESTEFANUS ROLLY UNTU, MSC

Informasi seputaran Pentahbisan Uskup Baru

Cover Undangan Pentahbisan Uskup Baru

Tim Sekretariat in action

TRI PRASETYA PEMUDA KATOLIK

TRI PRASETYA PEMUDA KATOLIK

 

Kami, PEMUDA KATOLIK Indonesia,

Pendukung hari-hari depan

Gereja dan Negara,

berjanji : “SENANTIASA SETIA

PADA PIMPINAN GEREJA DAN NEGARA


Kami, PEMUDA KATOLIK Indonesia,

Pendukung hari-hari depan

Gereja dan Negara,

berjanji : “TETAP BERJUANG

DEMI KEPENTINGAN GEREJA DAN NEGARA


Kami, PEMUDA KATOLIK Indonesia,

Pendukung hari-hari depan

Gereja dan Negara,

berjanji : “SELALU MENGUTAMAKAN

PERSATUAN, KEKELUARGAAN DAN TOLERANSI