(Cerita Taranak dan Walak Minahasa)
Map of the Minahasa 1873 |
Dalam bahasa Minahasa Kawanua sering di artikan sebagai penduduk negeri atau wanua-wanua yang bersatu atau "Mina-Esa" (Orang Minahasa). Kata Kawanua telah diyakini berasal dari kata Wanua. Karena kata Wanua
dalam bahasa Melayu Tua (Proto Melayu), diartikan sebagai wilayah
pemukiman. Mungkin karena beberapa ribu tahun yang lalu, bangsa Melayu
tua telah tersebar di seluruh wilayah Asia Tenggara hingga ke kepulauan
pasifik. Setelah mengalami perkembangan sejarah yang cukup panjang, maka
pengertian kata Wanua juga mengalami perkembangan. Tadinya kata Wanua
diartikan sebagai wilayah pemukiman, kini berkembang menjadi desa,
negeri bahkan dapat diartikan sebagai negara. Sementara dalam bahasa
Minahasa, kata Wanua diartikan sebagai negeri atau desa.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah Wanua
- yang diartikan sebagai tempat pemukiman - sudah digunakan sejak orang
Minahasa masih merupakan satu taranak ketika berkediaman di pegunungan
Wulur-Mahatus, yang kemudian mereka terbagi menjadi tiga kelompok
Taranak, masing-masing:
- Makarua Siouw
- Makatelu Pitu
- Telu Pasiowan
Karena sistem Taranak melahirkan bentuk pemerintahan
turun-temurun, maka pada abad ke-17 terjadi suatu persengketaan antara
ketiga taranak tersebut. Persengketaan terjadi karena taranak Makatelu
Pitu, mengikat pernikahan dengan "Makarua Siouw", sehingga leluhur Muntu-untu dan Mandey dari "Makatelu Pitu" muncul sebagai kelompok Taranak yang terkuat dan memegang pemerintahan pada seluruh Wanua - yang waktu itu terdiri dari:
- Tountumaratas
- Tountewu
- Toumbuluk
Dengan bertambahnya penduduk Minahasa, maka
Tountumaratas berkembang menjadi Tounkimbut dan Toumpakewa. Untuk
menyatakan kedua kelompok itu satu asal, maka dilahirkan suatu istilah Pakasa’an yang berasal dari kata Esa. Pakasa’an berarti satu
yakni, Toungkimbut di pegunungan dan Toumpakewa di dekat pantai. Lalu
istilah Walak dimunculkan kembali. Perkembangan selanjutnya nama
walak-walak tua di wilayah Tountemboan berganti nama menjadi walak
Kawangkoan Tombasian, Rumo’ong dan Sonder.
Kemudian kelompok masyarakat Tountewo membelah menjadi dua kelompok yakni:
- Tounsea and
- Toundano.
Menurut Drs. Corneles Manoppo, masyarakat Toundano terbelah lagi menjadi dua yakni:
- Masyarakat yang bermukim di sekitar danau Tondano dan
- Masyarakat "Toundanau" yang bermukim di wilayah Ratahan dan Tombatu
Masyarakat di sekitar Danau Tondano membentuk tiga walak yakni;
- Tondano Touliang,
- Tondano Toulimambot and
- Kakas-Remboken
Watu Pinawetengan 1890 |
Dengan hilangnya istilah Pakasaan Tountewo maka lahirlah istilah Pakasa’an Tonsea dan Pakasa’an Tondano.
Pakasa’an Tonsea terdiri dari tiga walak yakni Maumbi,
Kema dan Likupang. Abad 18 Tounsea hanya mengenal satu hukum besar
(Mayor) atau "Hukum Mayor", wilayah Maumbi, Likupang dan Kema di
perintah oleh Hukum kedua, sedangkan Tondano memiliki banyak
mayor-mayor.
Masyarakat Tombuluk sejak jaman Watu Pinawetengan abad
ke-7 tetap utuh satu Pakasa’an yang terdiri dari tiga walak yakni,
Tombariri, Tomohon dan Sarongsong. Dengan demikian istilah Wanua berkembang menjadi dua pengertian yaitu:
- Ro’ong atau negeri,
- Pengertian sempit, artinya Negeri yang sama dengan Ro’ong (desa atau kampung)
Jadi, kata Wanua, memiliki dua unsur yaitu:
- Ro’ong atau negeri
- Taranak atau penduduk
Ro’ong itu sendiri memiliki unsur:
- Wale, artinya rumah dan
- Tana. Kata Tana dalam bahasa Minahasa punya arti luas yaitu mencakup Talun (hutan), dan Uma (kebun atau kobong)
Kobong terbagi menjadi dua yaitu : "kobong kering" dan "kobong pece" (sawah). Kalau kita amati penggunaan kata Wanua dalam bahasa Minahasa misalnya ada dua orang yang bertempat tinggal di desa yang sama kemudian bertemu di hutan.
Si A bertanya pada si B:"Mange wisa" (mau kemana ?)
Kemudian B menjawab: "Mange witi uma" (pergi ke kobong),
si B balik bertanya pada si A:"Niko mange wisa" (kamu hendak kemana ?)
si A menjawab: "Mange witi Wanua" (mau ke negeri, maksudnya ke kampung dimana ada rumah-rumah penduduk).
Contoh lain adalah kata "Mina - Wanua". Kata " Mina" artinya, pernah ada tapi sekarang sudah tidak ada. Maksudnya, tempo dulu di tempat itu ada negeri dan sekarang sudah tidak ada lagi (negeri lama) karena negeri itu telah berpindah ke tempat lain. Kata "Mina Amak " (Amak = Bapak) adalah sebutan pada seseorang lelaki dewasa yang dahulu ada tapi sekarang sudah tidak ada, karena meninggal.
Si A bertanya pada si B:"Mange wisa" (mau kemana ?)
Kemudian B menjawab: "Mange witi uma" (pergi ke kobong),
si B balik bertanya pada si A:"Niko mange wisa" (kamu hendak kemana ?)
si A menjawab: "Mange witi Wanua" (mau ke negeri, maksudnya ke kampung dimana ada rumah-rumah penduduk).
Contoh lain adalah kata "Mina - Wanua". Kata " Mina" artinya, pernah ada tapi sekarang sudah tidak ada. Maksudnya, tempo dulu di tempat itu ada negeri dan sekarang sudah tidak ada lagi (negeri lama) karena negeri itu telah berpindah ke tempat lain. Kata "Mina Amak " (Amak = Bapak) adalah sebutan pada seseorang lelaki dewasa yang dahulu ada tapi sekarang sudah tidak ada, karena meninggal.
Kata Wanua yang punya pengertian luas dapat kita lihat pada kalimat "Rondoren um Wanua...". Kata Wanua
dalam kalimat ini artinya; Negeri-negeri di Minahasa dan tidak berarti
hanya satu negeri saja. Maksudnya... melakukan pembangunan di seluruh
Minahasa. Jadi sudah termassuk negeri-negeri dari walak-walak dan
pakasa’an yang didiami seluruh etnis atau sub-etnis Minahasa.
Jadi dapat dilihat bahwa pengertian utama dari kata Wanua
lebih mengarah pada pengertian sebagai wilayah adat dari Pakasa’an
(kesatuan sub-etnis) yang sekarang terdiri dari kelompok masyarakat yang
mengaku turunan leluhur Toar & Lumimu’ut.
Turunan dalam arti luas termasuk melalui perkawinan dengan orang luar,
Spanyol, Belanda, Ambon, Gorontalo, Jawa, Sumatera dan sebagainya.
Orang Minahasa boleh mendirikan Wanua diluar Minahasa, tapi orang Tombulu tidak boleh mendirikan negeri Tombulu di wilayah Totemboan atau sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan adat kebiasaan. Meletakkan "Watu I Pe-ro’ong" atau batu rumah menjadi negeri yang baru dilakukan oleh Tona’as khusus, misalnya, bergelar Mamanua (Ma’Wanua = Pediri Negeri) yang tau batas-batas wilayah antara walak yang satu dengan walak yang lain, jangan sampai salah tempat hingga terjadi perang antara walak.
Orang Minahasa boleh mendirikan Wanua diluar Minahasa, tapi orang Tombulu tidak boleh mendirikan negeri Tombulu di wilayah Totemboan atau sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan adat kebiasaan. Meletakkan "Watu I Pe-ro’ong" atau batu rumah menjadi negeri yang baru dilakukan oleh Tona’as khusus, misalnya, bergelar Mamanua (Ma’Wanua = Pediri Negeri) yang tau batas-batas wilayah antara walak yang satu dengan walak yang lain, jangan sampai salah tempat hingga terjadi perang antara walak.
Setelah meneliti arti kata Wanua dari berbagai segi, kita teliti arti awalah Ka pada kata Kawanua.
Beberapa awalan pada kata Ka-rete (rete=dekat) berdekatan rumah,
artinya teman tetangga. Ka-Le’os (Le’os=baik), teman berbaik-baikan
(kekasih). Kemudian kata Ka-Leong (leong=bermain) teman bermain.
Dari ketiga contoh diatas, dapat diprediksi bahwa awalan Ka memberi arti teman, jadi, Ka-wanua dapat diartikan sebagai Teman Satu Negeri, Satu Ro’ong,
satu kampung. Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh melalui syair lagu
"Marambak" (naik rumah baru)... "Watu tinuliran umbale Mal’lesok
ungkoro’ ne Kawanua..." artinya batu tempat mendirikan tiang rumah baru,
bersimbolisasi menepis niat jahat dan dengki dari teman satu negeri.
Misalnya, batu rumah baru itu di Tombulu bersimbol menjauhkan dengki
sesama warga Tombulu satu kampung, dan tidak ditujukan pada kampung atau
walak lain misalnya Tondano dan Tonsea.
Demikian juga cerita tua-tua Minahasa dinamakan "sisi’sile ne tou Mahasa" (buku A.L Waworuntu) dan "A’asaren Ne Tou
Manhesa" artinya cerita-cerita orang Minahasa. Tidak ditulis "A’asaren
ne Kawanua" atau cerita orang Kawanua. Disini terlihat bahwa orang
Minahasa di Minahasa tidak menamakan dirinya Kawanua. Orang Minahasa di
Minahasa menamakan dirinya "Orang Minahasa" dan bukan "Orang Kawanua"
selanjutnya baru diterangkan asal sub-etnisnya seperti, Tondano,
Tontemboan, Tombatu dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa istilah Kawanua dilahirkan oleh
masyarakat orang Minahasa di luar Minahasa sebagai sebutan identitas
bahwa seseorang itu berasal dari Minahasa, dalam lingkungan pergaulan
mereka di masyarakat yang bukan orang Minahasa, misalnya di Makasar,
Balikpapan, Surabaya, Jakarta, Padang, Aceh.
Orang Minahasa yang sudah beberapa generasi berada di luar Minahasa menggunakan istilah Kawanua untuk mendekatkan diri dengan daerah asal, dan walaupun sudah kawin-mawin antara suku, masih merasa dekat dengan Wanua lalu melahirkan Jawanua, Bataknua, Sundanua, dan lain sebagainya.
(ditampilkan disini sebab yg asli sudah tidak ada)