Home » » Stefy Rengkuan; Me-runtuh-kan benteng ateisme modern

Stefy Rengkuan; Me-runtuh-kan benteng ateisme modern

Meruntuhkan  Benteng Ateisme Modern
Sebuah Apologetika Kristiani, karya Benni E. Matindas, Penerbit Andi, Yogyakarta.

ResensatorStefy Rengkuan

Diskusi buku (Minggu 26/07) diselenggarakan Forum Spritualitas ESOTERIKA mengupas dan mengkritik pemikiran ateisme Charles Dawkins patut dihargai di tengah ketidaktahuan dan ketidaksadaran masyarakat akan bahaya ateisme yang secara halus disuburkan sejak semangat zaman yang mengagungkan kebebasan berpikir termasuk pikiran liar sampai tertib yang menolak Tuhan seolah dianggap pencapaian intelektual tertinggi. 

Sementara malah tak kurang filsuf teolog besar seperti Aquinas mengaku bahwa puncak tertinggi pengetahuan adalah kesadaran akan keterbatasan, mengetahui bahwa tidak tahu segala sesuatu. 


Namun bukan berarti kita tidak perlu mengetahui pemikiran filsafat ateistik itu, malah sebenarnya segala sesuatu tentangnya sudah ditimbang dan diukur, dan terbukti kurang bahkan tidak ada apa-apanya.

Materi bahasan ateisme sendiri bukan hal baru, dan buku Dawkins ini sudah lebih sepuluh tahun lalu dan para filsuf penganjur ateisme sudah ada jauh sebelum Dawkins. Entah terkait atau tidak, pada tahun-tahun itu seorang peneliti budaya, Benni Erick Matindas, sudah menerbitkan buku yang berusaha menelanjangi bahkan mematikan konsep pemikiran para filsuf ateis. 

Bahkan ide-ide tulisan itu tampaknya sudah ada dalam proses pembuatan buku best seller-nya, NEGARA SEBENARNYA (2007), yang mencapai 1000 halaman lebih untuk memperlihatkan dan meninggalkan sejumlah salah kaprah dalam kehidupan bernegara.

Teori seleksi alam Darwin dan teori-teori sains pendukung yang dibanggakan Dawkins itu malah cukup dibantah secara singkat di dalam kata pengantar secara singkat saja. Bukan menjadi teori yang perlu dibahas penulis dalam isi buku, karena sudah jelas dibuktikan pelbagai penelitian fisika mutakhir bahwa evolusi alam itu bukan tidak memerlukan Ide awal yang mengarahkan. 

Juga begitu banyak bukti dalam proses alam raya dan kehidupan manusia sehari-hari bahwa Tuhan diperlukan. Teori yang diklaim lebih unggul dari "hipotesis Tuhan" sebenarnya itu tidak meruntuhkan ajaran utama Alkitab tentang keberadaan Tuhan dan HUKUM KASIH, demikian juga tak sampai mengusik wilayah iman Kristiani yang bahkan percaya, kalau Tuhan menghendaki, dunia ini bisa diciptakan dalam sekejap atau 6 jam saja, bukan 6 hari seperti ada tertulis dalam kitab Genesis yang dibantah orang ateis itu. Klaim kebanggaan dan kesadaran menjadi ateis justru menjadi tanda kebodohan dan ketidakbebasan bahkan kesia-siaan belaka.

Dr. Benni memberi judul bukunya setebal 240 halaman itu MERUNTUHKAN BENTENG FILSAFAT ATEISME MODERN (2010), dan pertanyaan bisa langsung dinyatakan apa yang menjadi benteng ateisme di zaman modern ini?Salah satu jawaban sebenarnya sudah tersirat dalam dua alasan yang dikemukakan penulis dalam kata pengantar buku juga saat memberi analisis fenomena banyaknya pemimpin umat itu tak pernah atau jarang berkotbah tentang bahaya pemikiran ateisme itu bagi umat dan dirinya sendiri. Pertama, karena filsafat ateisme itu langsung dianggap oleh pemimpin sebagai konsep yang sulit dan berbelit-belit. 

Kedua, karena sulitnya filsafat ateisme itu bagi pemimpin maka diandaikan bahwa umat pun tak akan terpengaruh oleh pemikiran yang abstrak nun jauh di awang-awang itu. 

Penafsiran ini berangkat dari prinsip dalam strategi pemenangan perang di Tiongkok kuno: pertahanan terbaik adalah dengan menyerang! Bandingkan kata 'kelung' sebagai nama perisai yang biasa dipakai dalam tari Kabasaran di Minahasa, ternyata aslinya adalah sebuah parang besar yang dipakai untuk menyerang dalam kisah perang Sam Kok. 

Maka dua jawaban itu dalam arti tertentu merupakan skor kekuatan benteng ateisme itu. Jadi bukan semata fakta para pentolan dan penganjur ateisme itu gencar dan kuat menyerang kaum teistik, tapi terutama dari pihak beragama khususnya Kristen rupanya tiada serangan berarti yang dilancarkan, malah jangan-jangan tiada keberanian menyerang. Ini bisa pernyataan atau pertanyaan.

Memakai prinsip dan analogi itu, maka kekuatan kaum beragama itu didapatkan dengan pertama mempelajari dan memahami apa filsafat ateisme. Itu menjadi bekal dan persiapan yang cukup untuk bisa menjadi vaksin dari luar yang memberi imunitas yang mesti ditemukan dan disuntikkan dalam pemahaman rasional menghadapi bahaya pandemi ateisme itu. Dan tentu saja bagaimana kekebalan itu bisa diteruskan kepada kaum keluarga dan komunitas yang membutuhkannya supaya ikut memiliki kekebalan dan kesehatan yang sama. 

Kecemasan mental tak berguna tentang filsafat ateisme ini bisa diatasi juga secara sederhana dari fakta kebahasaan. Bahwa kata 'teis' (Tuhan) itu sendiri menjadi kata utama, dan kata 'ateis' (a = tidak) diturunkan alias dimunculkan kemudian. 

Pernyataan tidak ada Tuhan hanya bisa dipahami karena kata Tuhan itu sendiri. Ini juga didukung oleh neuro sience mutahir bahwa otak manusia dirancang hanya memikirkan apa yang ada positif, artinya otak manusia tidak dapat mengenal kata "tidak" itu. Pada saat kita mengatakan tidak ada Tuhan, justru Tuhan itu yang muncul dalam gambaran dan kesadaran.

Namun demikian kita tidak bisa langsung bisa meruntuhkan tembok dan benteng ateisme hanya dengan permainan kata walau secara konstitutif tidak ada secara natural dalam struktur otak manusia. Walau pernyataan "tidak berTuhan" itu hanyalah ilusi bahkan delusi manusia selevel Charles Dawkins itu, namun bukan berarti orang beriman dan berasio tak perlu berdialog kritis dengan pemikiran tersebut. 

Apalagi fakta fenomena semakin menguat dan membesarnya pengaruh ateisme di dunia bukan karena gelombang pasang pengungsian orang karena keruntuhan negara-negara berideologi komunis, tapi justru dalam kehidupan normal keseharian yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi yang sedang menentukan peradaban moderen secara cepat dan dasyat, dan cukup banyak pentolan dan pelopornya mempunyai beberapa pemikiran yang  dirancang bangun sedemikian rupa sampai menganjurkan ateisme itu, dari yang lunak sampai paling keras. 

Padahal beberapa di antara mereka awalnya terlahir beragama dalam keluarga religius, bahkan bercita-cita menjadi pendeta atau pengkotbah yang serius. 

Nampaknya Dawkins lepas dari motifnya apa termasuk yang keras karena menyebut sebuah kengerian bila status beragama dikenakan pada diri seorang anak Kristen atau Islam misalnya. Mungkin dia mengalami semacam kenangan traumatik atau pemahaman keliru tentang ajaran inti agama-agama? Nah lho. 

Ya memang masalahnya bukan sesederhana seperti yang kelihatan dalam keseharian itu yang dalam kadar tertentu umat menikmati dan menghidupkan bahkan membanggakan para tokoh dan nabi ateisme itu, bahkan tanpa tahu ajaran mana yang membahayakan pengetahuan dan iman ketuhanan mereka.

Matindas mengingatkan bahwa semuanya bisa berawal dari dan berakhir pada sistem berpikir dan konsep yang langsung tak langsung masuk dalam kesadaran pikiran dan praktik bertindak umat manusia termasuk kaum beragama, mulai dari hal-hal kecil yang nampak sepele dan bahkan tak kelihatan atau tak disadari. Dan ateisme filosofis itu justru yang paling berbahaya daripada yang diduga orang ateisme praktis. 

Ibarat orang tanpa gejala (OTG) di zaman pandemi covid-19 ini yang menurut laporan mencapai 80% dari yang diperiksa. Mereka bisa menjadi super spreader yang berpotensi menjadi biang kerok penularan, meningkatkan grafik yang positif dan seterusnya memperbesar pasien meninggal dengan tiba-tiba karena terlambat dicegah.

Pada titik ini penting mendesaknya sebuah proses discernment, yakni pembedaan dan pemilahan serta penegasan secara rasional konsep-konsep filsafat ateisme tersebut, mana yang inti yang mesti dihancurkan, bila harus diserang. Dan Matindas menunjukkan senjata pemungkas itu seperti jubi-jubi atau tombak bermata dua yang relatif panjang dan pendek. 

Pertama dengan berusaha menguraikan posisi tokoh serta konteks setiap filsafat, pengetahuan, dan kebudayaan umat manusia dan kemungkinan pengaruh teori ateisme itu sendiri bagi jemaat, dan uraian singkat siapa filsuf itu sampai menjadi ateis dalam proses kreatif berteori bahkan dalam perilakunya kesehariannya, kemudian walau secara sangat ringkas namun padat dan fokus pada uraian teori utama sistem dan implikasi ateistik yang dibangun, dan walau tidak semua filsuf ateis disebut namun keterwakilan dan keterkaitannya dengan para filsuf lain cukup ditunjukkan. 

Dan pemilihan 12 judul artikel nampaknya bukan semata menunjuk pada tokoh utama, tapi juga rupanya dimaksudkan untuk mengingatkan sasaran pembaca Kristen sebagai bagian dari yang berkepentingan dengan ajaran teistik yang mau tak mau mesti memusuhi dan mematikan ateisme itu. Karena itulah sub judul buku adalah "APOLOGETIKA IMAN KRISTIANI terhadap Fisafat Ateisme Modern".

Kedua, masih sejalan dengan makna apologetika sebagai bagian dari proses pertanggungjawaban iman personal (komunal), yakni dengan menunjukkan kebenaran utama dari ajaran Kristiani sendiri, yakni hukum kasih yang menjadi utama sebagaimana diajarkan dan diteladankan Yesus sendiri sebagai kegenapan dan kesempurnaan itu. "Jika ada cinta kasih hadirlah Tuhan". Dan sesungguhnya tak banyak jurus kutipan ayat yang dipakai penulis sebagaimana lazimnya pengkotbah merasa wajib menyebut ayat untuk sekedar memastikan bahwa dia (dinilai) hanya menyatakan kebenaran firman Tuhan, bukan sedang memakai pikiran, ego, bahkan suara hati sendiri. Benni bahkan tak berusaha berteologi, tapi memang lebih banyak memberi penjelasan dan menunjukkan aspek dan sisi kekeliruan ateisme filsuf masing-masing, termasuk kekeliruan teori filsafat utama sejauh dianggap perlu. 

Ya, sebagai seorang pemikir dan filsuf jelas Benni memang menggunakan rasionalitasnya, konkritnya penelitian kepustakaan yang luas dan pengalaman intelektual, spritual, dan sosial umumnya tentu saja, yang bisa diasumsikan didasarkan pada kepekaan iman kristiani yang sudah diwarisinya sejak dalam kandungan yang penuh misteri itu, bagaikan rancang kreasi agung sang arsitek kehidupan. Kecenderungan berpikir teistis itu mestinya sudah ada dalam diri setiap insan manusia. Maka juga nampak Benni sangat percaya diri dan menunjukkan wibawa yang otoritatif yang tak kurang seperti dimiliki seorang pengkotbah yang mesti selalu mengutip ayat dari Alkitab yang bahkan sampai dihafal di luar kepala.

Benni mengelompokkan ateisme itu dalam beberapa sifat yang menjadi penekanan atau yang tampak secara tekstual dan tentu saja dengan segala kecenderungan lemah dan kuatnya dalam jagad lintasan pemikiran dan arena pertarungan pemikiran filsafati berhadapan dengan paham yang teistik. 

Pertama, Tuhan jangan ada, yang paling jelas dalam teori etika Nietzche, yang dianggap ateisme yg paling lemah. Kedua, bahwa Tuhan tidak dapat diketahui oleh "pengetahuan yang benar", suatu sifat ateisme yang dibangun atas dasar epistemologi seperti nampak dalam filsafat ateisnya Hume, Kant, Comte, Wittgenstein, juga dalam Pragmatism dll. 

Ini pada dasarnya sama dengan yang pertama, pokoke Tuhan mesti ditolak dan tak boleh ada. Ketiga, Tuhan tidak ada di mananapun karena "Tuhan" yang ada ternyata bukan Tuhan yang diajarkan agama-agama. Ateisme Feuerbach, Freud, Durkheim, Taylor-Frazer, juga Marx dengan teori alienasinya tergolong dalam sifat ini. Keempat, tak mungkin ada Tuhan, seperti yang diteorikan oleh Sartre bahwa Tuhan adalah suatu ketidakmungkinan, dan ini memberi kesan ateisme yang paling kuat.

Keberagaman sifat dasar dari filsafat ateisme ini justru saling berbeda dan saling menihilkan sehingga sebenarnya makin jelas kerapuhannya sebagai sebuah sistem filsafat. Dan Matindas menyimpulkan lanjut bahwa sebenarnya mereka memang memilih bersikap ateistis bukan karena didasarkan pada filsafat atau teori mereka yang berimplikasi ateisme, tapi sebaliknya mereka tergiring membangun filsafat yang ateistik karena pada dasarnya mereka sudah ateis, berangkat dari kehendak bebas dan sikap dasar yang sama: menolak Tuhan.

Berbeda dengan keragaman sifat dasar dari setiap aliran dan denominasi gereja dalam Kristianitas misalnya, yang masing-masing atas caranya sendiri mempunyai kecenderungan eklesiologi tertentu, tapi masih menunjuk pada hakikat Gereja itu sendiri dengan penekanan tertentu. Dan karena itu alasan mengapa tidak bisa dibenarkan lagi orang saling menuduh sesat sampai kutuk mengutuk antar denominasi itu seperti yang dulu bahkan masih sering terjadi belum lama ini tokoh besar dari dua tiga bagkan lebih saling menyerang yang dipicu oleh pendapat dan sikap menghadapi anjuran physical distancing dalam beribadah. 

Semuanya mengaku dan percaya pada Yesus yang satu dan sama adalah Tuhan Allah yang memasuki dunia dalam segala kemanusiaanya kecuali dalam hal dosa. Perbedaan jumlah kitab dan tafsiran dalam  beberapa bagian yang membuat beberapa doktrin berbeda biasanya disikapi dengan hormat pada keyakinan personal dan lembaga gerejani masing-masing yang diyakini sebagai institusi Ilahi yang suci sekaligus sosial manusiawi yang tak luput dari dosa. 

Juga dalam tataran agama tradisi Abrahamik khususnya, ada banyak kesamaan yang membuat kita bersatu di bawah paham monoteisme, dan perbedaan kitab serta tafsiran pada akhirnya dikembalikan ke wilayah iman keyakinan yang mesti diakui dan dihargai dan punya sejarah serta penjelasan rasionalnya yang khas.

Namun terhadap ateisme sebagai sebuah paham berpikir dan bertindak, yang baru muncul dan dimunculkan justeru berpretensi mengoreksi dan bahkan meninggalkan kepercayaan dan filsafat ketuhanan, nampaknya penyelesaian perbedaan itu secara iman keyakinan jelas mengandung problematik karena keduanya memang saling meniadakan, "teisme vs ateisme". Tidak bisa seorang yang berkotbah tentang teisme lalu tak memusuhi lagi ateisme. 

Orang ateis mungkin saja masih menerima Tuhan dalam bentuk dan cara lain dari kaum bergama misalnya, atau menjadi agnostik alias tidak tahu atau belum tahu pasti ada tidaknya Tuhan.

Sampai di sini saya terinspirasi kemudian dengan kuliah online dalam KALA KALAM yang diadakan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta tadi sore (27/7) yang menampilkan dua dosen, ahli Alkitab dan ahli Islamologi, dalam dua sesi tema masing-masing yang sangat peka karena memang membuat umat beriman awam maupun profesional bingung dan bertanya bahkan ribut dan teprovokasi khususnya di media sosial. Menurut saya dua nara sumber itu sangat paham dengan tema dan perspektif serta tujuan yang dirancang mereka, termasuk menjawab oertanyaan-pertanyaan peserta, cerdas dan bijak! 

Ya, bagaimana pun juga pada hakikatnya sebuah apologetika, -- walau sering dipicu oleh konteks problem dan kecemasan dari luar seperti terlacak dalam beberapa peristiwa dan tokoh pada zamannya bahkan sekarang masih terjadi pengulangan yang sama, -- apalagi apologetika kristiani, bukan pertama berangkat pertama dari ketakutan dan kecemasan tentang yang lain atau di luar itu, melainkan mesti terutama berangkat dari semangat memahami internal secara benar dan tepat apa yang diimani dan diritualkan dan dihidupi dalam keseharian nyata. Dengan demikian diharapkan agama Kristen dan semua agama lainnya tetap relevan dan menjawab kebutuhan alamiah manusia untuk menjalani kehidupannya lebih baik. 

Penting disadari karena itu sebuah apologetika sebagai sebuah usaha pikiran manusiawi mau tak mau mesti tetap terbuka pada dialog bahkan kritik, misalnya sejauh mana memahami tuntas paham agamanya sendiri sehingga bisa menyebut ajaran agama lain termasuk ateisme itu keliru dan salah? 

Sebagaimana tuduhan dan serangan Dawkins dan para ateis lainnya membuat kaum beragama merasa tidak dipahami dengan benar dan tepat, demikian sebaliknya juga adalah sebuah kemungkinan bahkan ada point-point kritik para ateis itu secara faktual ada terutama terkait kekerasan atas nama agama bahkan demi Tuhan sendiri menunjukkan problem berTuhan dalam cara memahami dan menghidupi agama masih sering menghantui dunia, karena kaum beragama belum selesai atau telah keliru menafsirkan teks-teks kekerasan dalam Kitab Suci.

Yang pasti buku ini membuat anda yang cemas karena kesulitan belaka memahami ateisme akan mendapatkan keberanian yang mantap sekaligus untuk menjadi lebih paham dengan posisi inti dan utama beriman secara rasional dan  bertanggungjawab. 

Bila pembaca ingin menambah pengetahuan lebih benar dan meyakinkan tentang Tuhan dari sisi kritik atas filsafat ateistik, membaca buku ini sangat dianjurkan karena bermanfaat. 

Mengerti semua kekeliruan ateisme hanya akan membuat kita makin mensyukuri nikmat karunia rasio dan iman yang bagaikan double helix dari DNA yang satu dan sama dari setiap manusia ciptaan. 

Memaknai filosofi hari raya Kurban (Nabi Ibrahim/Abraham), membeli dan menyembelih hewan kurban sama dengan mematikan nafsu hewani (termasuk segala kecenderungan dan tindak kekerasan kotornya) yang sering membuat manusia luhur itu tidak menggunakan lagi akal budi dan akal imannya yang sehat dan aman. Bahkan kadang tiba saat akal itu kurang, rahmat Kasih itu mencukupi untuk manusia tetap mencintai Tuhan dan sesama serta lingkungan sekitarnya.#StefiRengkuan
Facebook Comments
0 Bloger Comments

0 komentar: