Home » » Sejarah PRD

Sejarah PRD

deklarasi_prd 

Sejak awalnya, Partai Rakyat Demokratik (PRD) adalah partai yang tumbuh dan dibangun sebagai alat pergerakan rakyat dalam melawan penindasan. Pembentukan PRD yang ditandai dengan Kongres Pertama PRD pada 15 April 1996 di Sleman, Yogyakarta, merupakan puncak dari proses penyatuan gerakan rakyat di masa kediktatoran Orde Baru. Proses ini dapat ditelusuri dari pembangunan komite-komite aksi pada tahun 1980an; pembangunan organisasi pergerakan di sektor mahasiswa, buruh, tani, rakyat miskin dan seniman pada awal tahun 1990an; dan kemudian penggalangan persatuan lintas-wilayah dan lintas-sektoral antara berbagai organisasi rakyat menjelang 1996.



Yang menjadi program utama saat itu adalah pembukaan ruang demokrasi dengan mencabut dua tiang utama kediktatoran Suharto, yakni paket 5 UU Politik 1985 dan Dwifungsi ABRI. Legislasi yang disebut pertama mengebiri hak politik rakyat dengan melarang pendirian partai politik di luar tiga partai besar yang dikendalikan oleh pemerintah. Sementara Dwifungsi ABRI memastikan dominasi militer dalam berbagai aspek kehidupan – terutama politik dan ekonomi – tanpa melalui proses demokrasi atau pemilihan oleh rakyat.
Dalam memperjuangkan ini PRD melancarkan aksi-aksi massa dan bekerjasama dengan individu-individu dan kekuatan politik yang menghendaki Indonesia yang lebih demokratis. Upaya ini berhasil semakin menggerakan kekuatan oposisi pada saat itu. Mereka kemudian berhimpun di seputar seorang tokoh oposisi, Megawati Sukarnoputri.
Ketika Rezim Orde Baru merespon perkembangan ini dengan menyerbu Kantor PDI pro-Megawati di Jl Diponegoro, Jakarta, pada 27 Juli 1996, amarah rakyat meluap menyebabkan kerusuhan di ibukota. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh pemerintah untuk melakukan penangkapan dan pemburuan terhadap pimpinan dan aktivis PRD. Belasan aktivis dan pimpinan PRD ditangkap dan dihilangkan; sisanya terpaksa beraktivitas di bawah tanah.
Namun ini terbukti tak mampu menghentikan keruntuhan rezim Orde Baru. Dalam pemilu 1997, PRD mengupayakan persatuan oposisi dalam gerakan Mega-Bintang-Rakyat yang merintis kerjasama antara unsur-unsur anti-Orde Baru dalam partai yang ada, terutama PDI dan PPP. Dengan dilatari oleh krisis ekonomi Asia, perlawanan rakyat dan mahasiswa semakin membesar sehingga akhirnya berhasil memaksa Suharto untuk mundur dan mengharuskan pemerintah setelahnya untuk membuka ruang demokrasi lebih lebar lagi.
Pada 1999 digelar pemilu pertama sejak 1955 yang dilangsungkan secara bebas. PRD berhasil ikut serta namun tidak berhasil meraih kursi. Konsentrasi PRD diarahkan untuk melancarkan aksi-aksi massa ekstra parlementer yang mendelegitimasi sisa-sisa Orde Baru. PRD juga merupakan salah satu kelompok politik yang paling awal, yakni sejak 1999, dalam mengangkat persoalan neoliberalisme yang terwujud dalam kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat, seperti liberalisasi perdagangan, pencabutan subsidi sosial, dan privatisasi aset-aset negara.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid dan kemudian Megawati Sukarnoputri terbukti tidak mampu membendung desakan kebijakan-kebijakan neoliberal yang diterapkan sebagai persyaratan untuk memperoleh pinjaman luar negeri. Sementara di DPR, para wakil rakyat justru mengesahkan Undang-Undang yang membuka jalan bagi dominasi modal swasta dan asing dalam perekonomian,seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan UU BUMN. Penulisan dan pengesahan UU ini dilakukan dengan intervensi konsultan asing seperti New Democratic Initiatives (NDI) dan United States Agency for International Development (USAID) yang menyisipkan kepentingan modal swasta asing.
Naiknya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke tampuk kekuasaan sejak 2004 dan kenaikan partai pendukungnya, Partai Demokrat, merupakan pertanda semakin kuatnya cengkraman neoliberalisme dalam politik. Bila pemerintahan sebelumnya meletakkan landasan kebijakan dan legislasi neoliberal di bawah tekanan untuk melunasi utang luar negeri; maka di bawah pemerintahan SBY kebijakan neoliberal dilanjutkan meskipun secara resmi utang tersebut telah lunas sejak 2006. Lebih dari itu, pemerintah SBY justru terus menambah utang sehingga semakin menjerat negeri ini dalam ketergantungan pada kekuatan-kekuatan imperialis. Dana yang didapatkan dari utang itu banyak yang digunakan untuk program-program sosial yang tidak berperspektif jangka panjang dan berkelanjutan, seperti PNPM Mandiri, BLT, dan BOS.
Pemerintah sebenarnya dapat menegakkan kemandirian ekonomi antara lain dengan mengupayakan pemotongan dan penghapusan utang menurut hukum internasional yang berlaku, memaksimalkan pemasukan dari penguasaan sumber daya alam, dan melakukan investasi dalam pembangunan infrastruktur, industri, transportasi, pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial. Kebijakan seperti ini terbukti secara historis mampu meningkatkan kesejahteraan dan produktifitas dalam jangka panjang. Pengalaman negeri-negeri dunia ketiga lainnya seperti Tiongkok, India, Brasil, hingga negeri tetangga seperti Malaysia dan Thailand juga mendemonstrasikan hal ini.
Sebaliknya, kebijakan ekonomi politik SBY yang melayani perusahaan-perusahaan raksasa trans-nasional menyebabkan Indonesia mengalami perkembangan ekonomi yang relatif tidak istimewa, dengan ketimpangan sosial yang cukup tinggi, dan infrastruktur yang terbelakang. Padahal sumber daya alam kita sangat berlimpah dan jumlah penduduknya terbesar ke-empat di dunia. Peningkatan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang dibangga-banggakan oleh pemerintahan SBY lebih terkesan sebagai penipuan karena angka tersebut didominasi oleh keuntungan perusahaan raksasa asing. Bagi mayoritas rakyat Indonesia kehidupan semakin mahal, susah dan tidak aman.
Mengahadapi situasi dan tantangan ini PRD sejak 2006 mengangkat program yang dinamakan Tripanji Persatuan Nasional, yaitu nasionalisasi pertambangan, penghapusan utang, dan industrialisasi nasional. Program ini diperjuangkan dengan merintis suatu front yang kemudian melahirkan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) pada tahun yang sama. Dalam Pemilu 2009, aktivis-aktivis Papernas maju sebagai kandidat legislatif dengan bekerjasama dengan partai-partai lain yang telah lolos pemilu untuk mengangkat isu anti penjajahan/imperialisme neoliberal.
Upaya ini memang belum menghasilkan capaian yang berarti selain dua kursi DPRD II di Nanggroe Aceh Darussalam. Sementara hasil pemilu 2009 yang penuh dengan kecurangan semakin mengukuhkan posisi SBY dan Partai Demokrat di pemerintahan. Namun, di sisi lain dapat dikatakan bahwa persoalan penjajahan neoliberalisme dan tuntutan kedaulatan nasional semakin mengemuka dalam wacana publik.
Kongres VII PRD 2010
Pada tanggal 1-3 Maret 2010, PRD menggelar Kongres ke 7 di Salatiga, Jawa Tengah. Kongres ini cukup penting karena menyadari bahwa perjuangan melawan penjajahan neoliberal tidak dapat sekedar bergantung pada perumusan program-program ekonomi dan politik, namun harus mewujudkan suatu transformasi budaya dalam masyarakat. Semangat Kongres tersebut adalah menggali nilai-nilai tradisi, budaya, dan sejarah progresif dalam masyarakat Indonesia untuk menuntaskan persoalan dan menciptakan alternatif bagi rakyat. Ini menghasilkan suatu keputusan penting untuk mengadopsi ideologi Pancasila sebagaimana yang dikonsepkan dan diperjuangkan oleh Bung Karno dan para pendiri bangsa lainnya.
Disepakati juga kebutuhan untuk memadukan perjuangan ekstra-parlementer yang telah mengakar di PRD dengan perjuangan parlementer yang semakin menjadi tuntutan saat ini. Untuk itu PRD akan diorientasikan menjadi partai kader berbasis massa yang bersifat terbuka. Strategi yang dijalankan adalah membangun massa pendukung melalui kerja-kerja praktis di antara gerakan sosial dan organisasi massa, membangun front seluas mungkin berdasarkan program-program anti-neoliberal, dan mengintervensi praktek demokrasi dan pemilihan dari tingkat lokal hingga nasional. Ini dicapai dengan mengangkat profil PRD lewat media partai maupun media mainstream, melaksanakan pendidikan-pendidikan politik, dan menjalin hubungan dan kerjasama dengan kekuatan politik lainnya.
Sesuai amanat Kongres tersebut, dibentuklah Presidium Nasional yang terdiri dari 13 pimpinan nasional dan 19 perwakilan pimpinan KPW sebagai pembuat keputusan tertinggi setelah Kongres. Pemungutan suara dalam Kongres menetapkan Ketua dan Sekretaris Jendral PRD, yang kemudian diberikan tugas menunjuk anggota-anggota Komite Pimpinan Pusat (KPP). KPP yang terpilih diamanatkan untuk menyusun manifesto dan AD/ART. Kedua dokumen ini kemudian disahkan dalam pertemuan Presidium Nasional pada bulan Juli 2010.
Facebook Comments
0 Bloger Comments

0 komentar: