Indonesia boleh bangga disebut negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Namun, salah satu pilar dari demokrasi, yakni pers atau media massa, belum bisa
bekerja dengan bebas dan merdeka di negeri ini. Banyak yang bilang, Indonesia
bukan tempat yang aman bagi tugas jurnalistik.
Ungkapan itu tentu tak berlebihan. Catatan LBH pers menyebutkan, ada 45 kasus keke
Ungkapan itu tentu tak berlebihan. Catatan LBH pers menyebutkan, ada 45 kasus keke
rasan terhadap jurnalis dalam kurun
waktu Januari-Mei 2012. Sedangkan tahun lalu angkanya mencapai 96 kasus. Ada
kecenderungan kekerasan terhadap jurnalis memperlihatkan trend meningkat.
Yang terbaru, kasus kekerasan terhadap sejumlah jurnalis di Kampar, Riau, saat meliput jatuhnya pesawat Hawk 200. Pelakunya adalah anggota TNI Angkatan Udara (AU). Beberapa wartawan menjadi korban, yaitu: Didik Herwanto (Riau Pos), Febrianto Budi Anggoro (ANTARA), Fakhri Rubianto (reporter Riau TV), Ari (TvOne), Irwansyah (reporter RTV), dan Andika (potografer Vokal).
Kejadian di atas sangat mengkhawatirkan. Ketua Dewan Pers Bagir Manan pernah mengingatkan, kemerdekaan pers di Indonesia saat ini masih dalam ancaman. Katanya, masih ada upaya pembatasan pers melalui sejumlah regulasi. Tak hanya itu, pembatasan terhadap kegiatan liputan masih kerap terjadi.
Sebelumnya, lembaga independen pemantau kemerdekaan pers, Reporters Without Border, melaporkan indeks kemerdekaan pers sebanyak 174 negara dalam kurun waktu 2011-2012. Disebutkan, tingkat kemerdekaan pers Indonesia menurun 29 poin menjadi peringkat ke-146. Sebelumnya, pada tahun 2010, peringkat kemerdekaan pers Indonesia masih di posisi- 117.
Ironisnya, institusi TNI/Polri paling banyak berkontribusi dalam penurunan peringkat kemerdekaan pers. Pada tahun 2011, misalnya, terjadi 96 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Dan 70 kasus diantaranya berkategori kekerasan fisik. TNI dan Polri menempati peringkat teratas sebagai pelaku kekerasan terhadap jurnalis: TNI (11) dan Polri (10).
Padahal, sejak genderang reformasi ditabuh, TNI dan Polri mendaulat diri sebagai lembaga yang turut melakukan reformasi. Dengan demikian, reformasi internal TNI/Polri itu mestinya berbuah “penghargaan yang makin besar terhadap demokrasi”. Salah satunya adalah mengakui kemerdekaan pers.
Kegiatan pers di Indonesia dilindungi oleh hukum, yaitu UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Di situ disebutkan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Dengan demikian, tindakan oknum TNI AU di Kampar, Riau, itu telah melanggar kemerdekaan pers nasional.
Kenapa aksi kekerasan terhadap jurnalis masih kerap terjadi? Pertama, negara—dalam hal ini rezim berkuasa—masih menganggap pers sebagai ancaman. Tidak sedikit regulasi dirancang untuk membatasi aktivitas pers itu. Misalnya, UU intelijen (2011) yang beberapa pasalnya dianggap mengancam kebebasan pers.
Kedua, negara belum sepenuh hati melindungi kegiatan jurnalisme. Ini terlihat dengan masih seringnya praktek kriminalisasi terhadap pers. Di samping itu, pemberian sanksi atau hukuman terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis masih kurang. Apalagi kalau pelakunya adalah TNI dan POLRI.
Lagi pula, di dalam negara demokrasi, setiap warga negara dijamin haknya untuk mendapatkan informasi. Warga negara juga dijamin kemerdekaannya untuk menyatakan pikiran dan pendapat secara bertanggung-jawab. Tak salah kemudian kalau Bung Hatta menyebut kemerdekaan pers, termasuk kemerdekaan menyatakan pendapat, sebagai kemerdekaan rakyat yang asli, yang tidak boleh dihilangkan dan disia-siakan.
Media dapat dipergunakan untuk mempromosikan demokrasi. Akan tetapi, supaya hal itu bisa tercapai, harus terjadi pula “demokratisasi media”. Media yang dikuasai oleh segelintir elit, yang tujuannya hanya untuk melayani tujuan kapital, tidak bisa diharapkan sebagai instrumen demokrasi. Dalam banyak kasus, mereka lebih banyak menjadi penyebar kebohongan dan memanipulasi kesadaran rakyat.
Karena itu, selain tetap memperjuangkan kemerdekaan pers, kita juga perlu menyerukan “demokratisasi media”. Dengan demikian, setiap warga negara harus diberi ruang yang sama untuk menyebarkan-luaskan informasi, opini, fikiran, dan lain-lain. Kepemilikan media di tangan segelintir elit harus dibatasi.
http://www.berdikarionline.com/editorial/20121017/mengutuk-kekerasan-terhadap-jurnalis.html
Yang terbaru, kasus kekerasan terhadap sejumlah jurnalis di Kampar, Riau, saat meliput jatuhnya pesawat Hawk 200. Pelakunya adalah anggota TNI Angkatan Udara (AU). Beberapa wartawan menjadi korban, yaitu: Didik Herwanto (Riau Pos), Febrianto Budi Anggoro (ANTARA), Fakhri Rubianto (reporter Riau TV), Ari (TvOne), Irwansyah (reporter RTV), dan Andika (potografer Vokal).
Kejadian di atas sangat mengkhawatirkan. Ketua Dewan Pers Bagir Manan pernah mengingatkan, kemerdekaan pers di Indonesia saat ini masih dalam ancaman. Katanya, masih ada upaya pembatasan pers melalui sejumlah regulasi. Tak hanya itu, pembatasan terhadap kegiatan liputan masih kerap terjadi.
Sebelumnya, lembaga independen pemantau kemerdekaan pers, Reporters Without Border, melaporkan indeks kemerdekaan pers sebanyak 174 negara dalam kurun waktu 2011-2012. Disebutkan, tingkat kemerdekaan pers Indonesia menurun 29 poin menjadi peringkat ke-146. Sebelumnya, pada tahun 2010, peringkat kemerdekaan pers Indonesia masih di posisi- 117.
Ironisnya, institusi TNI/Polri paling banyak berkontribusi dalam penurunan peringkat kemerdekaan pers. Pada tahun 2011, misalnya, terjadi 96 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Dan 70 kasus diantaranya berkategori kekerasan fisik. TNI dan Polri menempati peringkat teratas sebagai pelaku kekerasan terhadap jurnalis: TNI (11) dan Polri (10).
Padahal, sejak genderang reformasi ditabuh, TNI dan Polri mendaulat diri sebagai lembaga yang turut melakukan reformasi. Dengan demikian, reformasi internal TNI/Polri itu mestinya berbuah “penghargaan yang makin besar terhadap demokrasi”. Salah satunya adalah mengakui kemerdekaan pers.
Kegiatan pers di Indonesia dilindungi oleh hukum, yaitu UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Di situ disebutkan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Dengan demikian, tindakan oknum TNI AU di Kampar, Riau, itu telah melanggar kemerdekaan pers nasional.
Kenapa aksi kekerasan terhadap jurnalis masih kerap terjadi? Pertama, negara—dalam hal ini rezim berkuasa—masih menganggap pers sebagai ancaman. Tidak sedikit regulasi dirancang untuk membatasi aktivitas pers itu. Misalnya, UU intelijen (2011) yang beberapa pasalnya dianggap mengancam kebebasan pers.
Kedua, negara belum sepenuh hati melindungi kegiatan jurnalisme. Ini terlihat dengan masih seringnya praktek kriminalisasi terhadap pers. Di samping itu, pemberian sanksi atau hukuman terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis masih kurang. Apalagi kalau pelakunya adalah TNI dan POLRI.
Lagi pula, di dalam negara demokrasi, setiap warga negara dijamin haknya untuk mendapatkan informasi. Warga negara juga dijamin kemerdekaannya untuk menyatakan pikiran dan pendapat secara bertanggung-jawab. Tak salah kemudian kalau Bung Hatta menyebut kemerdekaan pers, termasuk kemerdekaan menyatakan pendapat, sebagai kemerdekaan rakyat yang asli, yang tidak boleh dihilangkan dan disia-siakan.
Media dapat dipergunakan untuk mempromosikan demokrasi. Akan tetapi, supaya hal itu bisa tercapai, harus terjadi pula “demokratisasi media”. Media yang dikuasai oleh segelintir elit, yang tujuannya hanya untuk melayani tujuan kapital, tidak bisa diharapkan sebagai instrumen demokrasi. Dalam banyak kasus, mereka lebih banyak menjadi penyebar kebohongan dan memanipulasi kesadaran rakyat.
Karena itu, selain tetap memperjuangkan kemerdekaan pers, kita juga perlu menyerukan “demokratisasi media”. Dengan demikian, setiap warga negara harus diberi ruang yang sama untuk menyebarkan-luaskan informasi, opini, fikiran, dan lain-lain. Kepemilikan media di tangan segelintir elit harus dibatasi.
http://www.berdikarionline.com/editorial/20121017/mengutuk-kekerasan-terhadap-jurnalis.html