take a picture with an expert |
SEJARAH GERAKAN MAHASISWA
Sejarah pergerakan Indonesia tak bisa dilepaskan pada masa perkembangan 1912-1926 atau yang menurut Takashi Shiraishi adalah peristiwa ‘Zaman Bergerak’. Peran para intelektual muda yang membawa gagasan baru dalam dunia pergerakan mengalir deras dalam kesadaran politik rakyat. Zaman pergerakan di Indonesia pada masa itu mulai menampilkan kesadaran politik baru dalam bentuk yang modern dan akrab dengan kita saat ini, seperti surat kabar, rapat, pemogokan, serikat, partai dan ideologi. Hal tersebut tidak mungkin dapat ditemui dari masa sebelumnya dimana gerakan lebih bersifat mesianistik atau yang dipimpin para feodal dengan cara tradisional.
Kesadaran politik rakyat terbentuk tidak hanya melalui interaksi sosial,
namun melalui aktivitas sosial dan aktivitas politik terorganisasi dengan
cita-cita untuk merdeka. Mobilisasi massa secara besar telah menciptakan
radikalisasi dalam gerakan. Rakyat mulai aktif melakukan berbagai aksi
pemogokan dan tuntutan. Gagasan Marxisme atau sosialisme ilmiah yang dibawa
oleh Henk Sneevliet serta Tan Malaka menjadi pijakan penting dalam gerakan.
Ketika gerakan kiri diberangus pada penghujung 1926, kekosongan tonggak gerakan
diambil alih oleh kelompok intelektual muda nasionalis kiri radikal yang telah
terbentuk kesadaran politiknya pada 1920an, seperti Soekarno dengan PNI dan
gagasan Marhenismenya.
Datangnya Jepang hingga kemerdekaan pada 1945 tak bisa dipisahkan dari
kekuatan gerakan rakyat ini. Mereka melakukan perang gerilya, mogok, vergadering,
aksi massa, berorganisasi, rapat akbar dan berpartai untuk menuntaskan proses
revolusi nasional yang anti neo-kolonialisme dan anti neo-imperialisme. Para
mahasiswa, pemuda bersama rakyat berupaya menghabisi sisa-sisa kolonialisme dan
feodalisme dengan tuntutan nasionalisasi, land reform dan berdikari.
Namun pada 1965-1967, terjadi penghancuran gerakan revolusi nasional yang
hampir 60 tahun telah terbangun. Pelakunya adalah rezim Orde Baru (orba).
Gerakan mahasiswa pada 1965 yang dipelopori oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia) yang dibentuk atas anjuran Mayor Jendral Syarif Thayib, Menteri
Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan pada 25 Oktober 1965, adalah gerakan
yang berselingkuh dengan Angkatan Darat dalam mendirikan orba. Setelah orba
tegap memimpin, para pemimpin KAMI banyak yang masuk dalam pemerintahan sebagai
timbal jasa. Tentu ada yang tak terserap dan bergerak di luar.
Gerakan mahasiswa pada tahun 1970an, terjebak pada kerangka gerakan moral.
Seperti tokoh dalam gerakan tersebut Arief Budiman, yang menyerukan gerakan
Golput atau Golongan Putih terhadap Pemilu yang tak adil. Gerakan mahasiswa
pada masa ini hanya bergulat dengan teori, membuat sikap pernyataan dan menegur
penguasa tanpa pernah melakukan gerakan mobilisasi massa serta bergabung dengan
massa rakyat yang dihisap oleh rezim orba.
Kebijakan ‘massa mengambang’ yang digagas oleh Ali Moertopo telah membuat
rakyat buta politik. Keadaan tersebut membuat masyarakat yang marah terhadap
penguasa tak dapat menyalurkan amarahnya dalam gerakan politik yang
terorganisasi, sehingga yang terjadi adalah kerusuhan. Hingga terjadi peristiwa
Malari (Malapetaka Limabelas Januari) yang dilakukan generasi mahasiswa
1973-74. Akibat proses tersebut rezim Soeharto mengambil tindakan normalisasi
kehidupan kampus (NKK) dalam kehidupan politik. Karena kampus selama periode
tersebut menjadi pusat mobilisasi mahasiswa dan pusat kritik terhadap penguasa.
Gerakan mahasiswa pada era akhir 1980an sampai 1998 mulai belajar dari
kekalahan atau kesalahan gerakan sebelumnya paska 1965, yaitu karena terpisah
dari kekuatan rakyat dan mereka tak memiliki basis massa yang kuat dan luas
(analisa Danial Indrakusuma, aktivis mahasiswa & tokoh pendiri PRD).
Belajar dari gerakan mahasiswa di Filipina pada 1980an yang berhasil
menggulingkan diktator Marcos dengan strategi ‘Live-in’ (hidup dan
berjuang bersama rakyat), maka gerakan mahasiswa pada masa itu melakukan
strategi yang sama. PRD yang terbentuk pada 1994 (diinisasi oleh mahasiswa,
aktivis, buruh, petani dan lainnya) memainkan peran penting dalam kembali
menjalankan politik mobilisasi massa dengan cara Live-in di kawasan
perburuhan, kawasan pinggiran kota, dan di tengah konflik agraria. Hingga
akhirnya rezim Soeharto menyatakan PRD sebagai partai terlarang dengan
menangkap para aktivisnya. Hal tersebut membuat PRD melakukan gerakan bawah
tanah dengan membawa bendera berbeda yang mampu mendorong lengsernya Soeharto
pada Mei 1998 setelah 32 tahun memimpin.
Seperti yang ditanyakan oleh Pram, gerakan mahasiswa atau pemuda yang
berhasil menggulingkan Soeharto tersebut ternyata tidak menghasilkan tokoh
politik nasional pada periode era reformasi. Bahkan sampai sekarang, tokoh
nasional hanya diisi oleh orang-orang dari enclave orba. Pada 1999 ada
Amin Rais, Megawati dan Gus Dur, sedangkan sampai sekarang hanya diisi oleh
SBY, Jusuf Kalla, dan Prabowo. Jokowi memang tidak termasuk enclave
peninggalan orba, namun ia tak terlahir dari proses gerakan dan tak memiliki
gagasan besar tentang ke-Indonesiaan.
PRD sebagai pelopor gerakan melengserkan Soeharto dalam pemilu 1999, juga
tidak dapat berbicara banyak. Jargon mereka “Pilih PRD atau Boikot Pemilu
bersama Rakyat” menunjukan adanya kebimbangan dan perpecahan di internal partai
tersebut dalam terjun dalam ajang kontestasi politik. Perpecahan terjadi karena
ada dua arus pemikiran berbeda, apakah mereka akan bergerak di luar sistem
dengan politik ekstra-parlementer atau bergerak di dalam. Sebelumnya mereka
dikhianati oleh 4 tokoh reformis yaitu Megawati, Abdurahman Wahid, Amin Rais
dan Sultan Hamengkubuwono X melalui pertemuan Ciganjur, yang kemudian
menghentikan sebagian besar kekuatan mobilisasi massa yang memiliki potensi
besar membawa roda pemerintahan kembali menapaki semangat revolusi nasional.
Hingga saat ini, PRD telah mengalami masa degenerasi dan deidiologisasi,
karena aktivis-aktivis yang bergerak di dalamnya selama periode 1994-2000an
telah banyak yang keluar. Garis politik PRD dari gagasan sosialisme demokrasi
kerakyatan, sekarang cenderung mengarah ke Soekarnoisme. PRD pun pada akhirnya
kehilangan pengaruhnya pada basis massa rakyat. Keadaan tersebut dipengaruhi
oleh hilangnya musuh bersama yaitu Soeharto pada era orba. Setelah Soeharto
sukses dijatuhkan, bayangan akan musuh bersama menjadi samar. Ketiadaan musuh
bersama membuat mereka kehilangan dukungan dari rakyat.
Selain itu faktor yang penting sebagaimana kesimpulan dari Pram dalam
menjawab pertanyaan di awal adalah bahwa: “Kita secara nasional dilahirkan
oleh revolusi nasional dan berhasil menghalau Imperialisme… disusul perjuangan
menuntaskan revolusi: sekarang itu sudah padam samasekali. Kesimpulan saya:
karena perkembangan orba menyalahi sejarah sebagai titik awal tempat bertolak
sehingga kehilangan arah tak tau tujuan, alias ngawur”.
Pembantaian masal pada organ gerakan kiri, penghancuran terhadap gagasan
revolusioner dan pemberangusan mobilisasi rakyat untuk menuntaskan revolusi
nasional selama masa orba, telah membuat rakyat menjadi buta politik.
Kekosongan gagasan revolusioner telah mencuatkan gagasan konservatif. Setelah
jatuhnya Soeharto, rakyat yang dibuat menjadi masa mengambang, banyak yang tak
mengetahui kemana mereka harus menyandarkan pilihan politiknya. PRD tidak mampu
melakukan kampanye masif di berbagai media massa umum, sementara koran yang
dibuatnya tidak mampu menyentuh segala lini masyarakat.
Akibatnya rakyat yang tengah berada pada masa krisis menyandarkan pilihan
politiknya pada tokoh-tokoh reformis yang mendapat banyak sorotan oleh media
massa. Hilangnya budaya berserikat, berpartai, rapat akbar, aksi, mogok dan
bersuara telah menjadi salah satu penyebab kegagalan era reformasi ini.
Kekosongan politik kiri, membuat para pemuda pengangguran, pemuda di pinggiran
kota, pemuda desa yang tereksklusi dari dunia pertanian dan begitu pula para
mahasiswa pada akhirnya menjatuhkan pilihan politiknya pada gagasan politik relijius
konservatif atau relijius fundamentalis radikal. Para pemuda
tersebutlah yang sekarang menjadi basis masa dari organisasi semacam FPI (Front
Pembela Islam).
Apa Yang Harus Dilakukan?
Kini kita dihadapkan pada hasil dari proses penghancuran atau
kontra-revolusi gerakan politik rakyat oleh rezim orba. Konsep “massa
mengambang” yang diterapkan oleh rezim orba telah membuat mahasiswa begitupula
rakyat kebanyakan, terjerat dalam kesadaran palsu mereka dan imajinasi
ketakutan terhadap perjuangan politik. Artinya gerakan mahasiswa ke depan harus
mampu menghubungkan dan membangun kembali atau melampaui perjuangan politik
rakyat yang terbentuk pada 1912-1965.
Gerakan mahasiswa juga harus belajar dari perjuangan gerakan mahasiswa pada
masa sebelumnya. Mereka harus bersikap tegas dengan berbagai kajian dan tidak
hanya riuh dengan selebrasi politik. Tidak hanya bergerak dalam dunia maya
seperti dengan gerakan petisi online, akan tetapi bergerak dalam aksi
nyata. Mahasiswa di Chile berhasil mendorong kebijakan kuliah gratis yang
dibiayai dari pajak korporasi, karena mereka turun ke jalan-jalan untuk aksi
massa dengan tuntutan-tuntutan yang menekan penguasa sejak tahun 2006 melalui
apa yang dinamai Penguin Revolution.
Artinya, gerakan mahasiswa selain berkutat dengan teori, mereka harus turun
ke massa rakyat melalui strategi live-in dengan melakukan aktivitas
sosial-politik demi menciptakan kesadaran politik pada massa dan keyakinan atas
kekuatannya. Melakukan berbagai kajian dan membentuk media propaganda seperti
Koran menjadi penting untuk memperkuat argumen dan memperluas kesadaran massa.
Kebijakan pemerintah yang masih terjerat dalam politik neoliberal, membuat
terus terjadinya berbagai konflik yang melibatkan rakyat dengan pemerintah atau
swasta serta dengan keduanya. Di sana mereka dapat turut membantu perjuangan
rakyat dengan membentuk blok historis. Dan hal utama adalah untuk menghidupkan
kembali “perjuangan menyelesaikan revolusi nasional Indonesia”.
Kepustakaan:
Bourchier, David & Vedi R Hadiz. 2005. Indonesian Politics and
Society. London & New York: RouledgeCurzon.
Lane, Max. 2014. Unfinished Nation. Yogyakarta: Penerbit Djaman
Baroe.
Robinson, Richard & Vedi R Hadiz. 2004. Reorganising Power in
Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London &
New York: RouledgeCurzon.
Shiraishi, Takashi. 2005. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa
1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.